Sejarah karet bermula
ketika Christopher Columbus menemukan benua Amerika pada 1476. saat itu,
Columbus tercengang melihat orang-orang Indian bermain bola dengan menggunakan
suatu bahan yang dapat melantun bila dijatuhkan ketanah. Bola tersebut terbuat
dari campuran akar, kayu, dan rumput yang dicampur dengan suatu bahan (lateks)
kemudian dipanaskan diatas unggun dan dibulatkan seperti bola. Pada 1731, para
ilmuwan mulai tertarik untuk menyelidiki bahan tersebut. seorang ahli dari
Perancis bernama Fresnau melaporkan bahwa banyak tanaman yang dapat
menghasilkan lateks atau karet, diantaranya dari jenis Havea brasilienss yang
tumbuh di hutan Amazon di Brazil. Saat ini tanaman tersebut menjadi tanaman
penghasil karet utama, dan sudah dibudidayakan di Asia Tenggara yang menjadi
penghasil karet utama di dunia saat ini.
Menidaklanjuti apa yang
disampaikan Charles Marie de la Condamine dan Francois Fresneau dari Perancis
bahwa ada beberapa jenis tanaman yang dapat menghasilkan lateks atau karet,
kemudian Sir Clement R. Markham bersama Sir Joseph Dalton Hooker berusaha
membudidayakan beberapa jenis pohon karet tesebut. Pada tahun 1835, Hancock
mendekati Direktur Botanical Garden Kew London, Sir William Hooker dan
menasehatinya untuk turut membantu mengenalkan dan mulai menanam pohon karet
Hevea di wilayah kolonial Inggris yang berada Asia. Namun ide ini kurang
direspon oleh Sir William Hooker. Beberapa tahun kemudian kesadaran untuk mulai
membudidayakan pohon karet, diawali oleh Sir Clements Markham, pegawai pemerintahan
Inggris di India. Beliau kemudian meminta James Collin yang telah terlebih
dahulu mempelajari karet untuk mengerjakan proyek penanaman tersebut. Hasil
studi Collin dipublikasikan tahun 1872 dan menjadi perhatian Direktur Kew
Botanic Garden yang baru, Sir Joseph Hooker, putra dari Sir William Hooker.
Selanjutnya Joseph Hooker berkerja sama dengan James Collin dalam usaha
membudidayakan karet. Joseph Hooker membeli sekitar 2000 biji karet dari Farris
atas permintaan Collin. Biji karet tersebut dicoba dikecambahkan namun pada
akhirnya hanya 12 biji yang berhasil tumbuh hingga menjadi tanaman karet baru.
Ketertarikan untuk
membudidayakan karet muncul dari bangsawan Inggris lainnya, Sir Henry Wickman
yang menjelajahi hutan Amazon untuk mengumpulkan biji karet dan pada akhirnya
berhasil membawa sekitar 70.000 biji karet ke Inggris tahun 1876. Biji karet
Wickman kemudian dikecambahkan di Kew Botanical Garden namun hanya sekitar 2000
biji saja yang mampu berkecambah. Usaha budidaya karet juga terus dilakukan oleh
Sir Clements Markham, beliau mengutus Robert Cross ke Amazon untuk mengumpulkan
biji karet seperti yang dilakukan oleh Sir Wickman. Cross kembali ke Inggris
dan berhasil membawa 1080 biji namun hanya 3% saja yang mampu bertahan selama
perjalanan dari Brazil ke Inggris tanpa menjadi busuk.
Seratus buah biji karet
Wickman yang berhasil tumbuh menjadi bibit perkecambahan kemudian dikirim ke
Ceylon (sekarang Sri Langka) dari Kew Botanical Garden pada bulan September
1876. Selanjutnya di bulan Juni 1877, Kew Botanical Garden kembali
mendistribusikan 22 tanaman karet dengan tujuan Singapore Botanical Garden.
Tanaman karet tersebut diterima oleh Henry Ridley selaku Direktur Singapore
Botanical Garden yang selanjutnya dijuluki ”mad Ridley” karena kegigihannya dalam
membudidayakan tanaman karet di tanah Malaya. Henry Ridley menanam 75% dari
tanaman itu di Residency Garden di Kuala Kangsar kemudian di tahun 1884, Frank
Swettenham menanam 400 biji di Perak dimana biji ini merupakan hasil pohon
karet yang ditanam di kuala kangsar dan selanjutnya antara tahun 1883 – 1885
ditanam di Selangor oleh T. H. Hill. Ridley juga mengenalkan teknik eksploitasi
getah karet dengan penyadapan tanpa menebang pohon karetnya.
Tahun 1864 untuk pertama
kalinya tanaman karet diperkenalkan di Indonesia yang pada waktu itu masih
jajahan belanda. Di tahun 1876 Kew Botanical Garden juga mengirimkan 18 buah
biji karet ke pemerintahan kolonial India Belanda (sekarang Indonesia) namun
demikian hanya dua buah biji yang berhasil tetap segar selama diperjalanan. Dua
biji ini kemudian ditanam di Cultuurtuin Bogor sebagai koleksi dan menjadi
pohon karet tertua di Indonesia. Dari tanaman koleksi, karet selanjutnya
dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersil. Daerah
yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah
Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua
daerah tersebut adalah species Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet
Havea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di
Jawa pada tahun 1906. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Pada awalnya, penanaman
Hevea di Indonesia kurang mendapat respon positif karena masyarakat telah lebih
dahulu mengenal pohon lokal yang juga menghasilkan getah yaitu Fiscus elastica.
Pohon berdaun lebar dan bersinar ini merupakan pohon favorit masyarakat
Belanda. Selain itu juga pemerintah Belanda lebih menyukai menanam pohon karet
jenis Manihot glaziovii yang tumbuh dengan baik di propinsi dengan iklim kering
di Brasil yaitu Ceara dan Castiloa elastica yang aslinya berasal dari Mexico
dengan anggapan bahwa pohon karet Hevea hanya mampu tumbuh didaerah dengan
kelembaban tinggi. Tahun 1889, Pemerintah Belanda membuka perkebunan karet di
daerah Pamanukan dan Ciasemlanden, Jawa Barat dengan karet yang ditanam jenis
Fiscus elastica. Perkebunan ini dianggap sebagai perkebunan karet tertua di
dunia. Hasil dari perkebunan kurang memuaskan karena produktivitas lateks
rendah dan tanaman mudah terserang hama dan penyakit.
Pemerintah Belanda terus
mengadakan perbaikan, mereka mulai mencari daerah di Indonesia yang cocok untuk
ditanami karet jenis Hevea. Penamanan karet hevea komersial di Indonesia
diawali pada tahun 1902 di Sumatera dan dilanjutkan di Jawa pada tahun 1906.
Akibat peningkatan permintaan akan karet di pasar internasional, maka
pemerintahan Nedherland Indies menawarkan peluang penanaman modal bagi investor
luar. Perusahaan Belanda–Amerika, Holland Amerikaance Plantage Matschappij
(HAPM) pada tahun 1910-1911 ikut menanamkan modal dalam membuka perkebunan
karet di Sumatera. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus
berkat tersedianya transportasi yang memadai. Para investor asing dalam
mengelola perkebunan mengerahkan biaya, teknik budidaya yang ilmiah dan modern,
serta teknik pemasaran yang modern. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Perkebunan karet rakyat di
Indonesia juga berkembang seiring dengan naiknya permintaan karet dunia dan
kenaikkan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet
antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah. Pada masa itu,
penduduk umumnya membudidayakan karet sambil menanam padi. Jika tanah yang
diolah kurang subur, mereka pindah mencari lahan baru. Namun, mereka tetap
memantau pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga dapat
dipanen.
sumber: http:www.intipsejarah.com
Post a Comment