Perang Banjar adalah salah satu perang terlama di
Indonesia yaitu, pecah pada tahun 1859 dan berakhir pada tahun 1905. Perang
yang terjadi antara penduduk pribumi di Kalimantan Selatan dengan penjajah
Belanda ini berlangsung selama 46 tahun. Dalam ukuran perang waktu 46 tahun itu
waktu yang sangat lama. Tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa yang gugur
dalam perang tersebut, baik itu di pihak pribumi maupun di pihak Belanda.
Selama berlangsungnya Perang Banjar banyak bermunculan tokoh-tokoh
pejuang yang gagah berani melawan para penjajah demi kebebasan tanah kelahiran
mereka. Walaupun banyak dari mereka yang gugur dalam medan perang, tetapi
semangat juang mereka patut kita contoh terutama bagi generasi masa kini.
Memperingati hari pahlawan yang jatuh pada 10 Nopember,
berikut saya akan tuliskan 10 daftar tokoh-tokoh pejuang/pahlawan Perang
Banjar:
Sultan
Hidayatullah Halil illah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman, atau lebih dikenal sebagai Pangeran Hidayatullah atau Hidayatullah II (lahir
di Martapura,1822 – meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada
umur 82 tahun) adalah salah seorang pemimpin Perang
Banjar dan berkat jasa-jasa
kepada bangsa dan negara, pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah
menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama.
Pangeran Hidayatullah
adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah
Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan
pengiringnya ke Cianjur. Di sana
dia tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang
Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah pada
tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.
Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah
menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia
Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Kesultanan Banjar yang
sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan kakeknya Sultan Adam.
Pada 9 Oktober 1856, Hindia Belanda mengangkat
Hidayatullah sebagai mangkubumi untuk meredam pergolakan di Kesultanan
Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama
dan bangsawan keraton sebagai Sultan
Muda.
Pada 18 April 1859 terjadi
Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda
dipimpin oleh Pangeran Antasari,
Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan
Hidayatulah .
Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan
Tamjidullah sebagai Sultan Banjar oleh Kolonel A.J. Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan
Siasat menempatkan Sultan Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan
Pangeran Tamjidullah karena Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka
berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai
sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang batubara Pengaron, sehingga harus dijinakkan
dengan menempatkan Sultan pada posisinya sesuai surat wasiat Sultan Adam. Akan
tetapi pengangkatan oleh Belanda ini ditolak mentah-mentah dan didukung oleh
seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.
Pada 5
Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat
dihapuskan.[6] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen
mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.[1]
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809– meninggal di Bayan Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada
umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14
Maret 1862, dia dinobatkan
sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar)
dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para
kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung
Yang Pati Jaya Raja.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan
300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar.
Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari
menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong,
sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran
yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan
Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang
oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari
memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali
Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada
pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli
1861.
“
|
...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak
setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka
(kemerdekaan)...
|
”
|
Dalam
peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun
sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat
pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian
wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi
tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung
Bayan Begok, Sampirang, dalam
usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan
cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit
Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh
puteranya yang bernama Muhammad
Seman.[2]
Demang Lehman,
kemudian bergelar Kiai Adipati Mangku Negara (lahir di Barabai tahun 1832 -
meninggal di Martapura tanggal 27 Februari 1864 pada
umur 32 tahun) adalah salah seorang panglima
perang dalam Perang Banjar.Dia terlahir dengan nama
Idies. Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang
sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula
merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena kesetiaan dan
kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah II, dia
diangkat menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah II).Demang
Lehman memegang pusaka kerajaan Banjar yaitu Keris
Singkir dan sebuah tombak bernama
Kalibelah yang berasal dari Sumbawa.
Pada awal
tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri
almarhum Sultan Adam, telah
menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar
diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya
Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi
bantuan kepada Tumenggung Jalil (Kiai Adipati Anom Dinding Raja)
berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran
Antasari dan Demang Lehman
mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil di daerah Barito (Tanah Dusun), Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah Laut.
Perlawanan
rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan Pangeran
Antasari yang berahsil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu
pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh
pasukan Antasri pada tanggal 28 April 1859. Di samping itu, kawan-kawan
seperjuangan Pangeran Antasari juga telah mengadakan penyerangan terhadap
pasukan-pasukan Belanda yang dijumpai. Pada saat pangeran Antasari mengepung
benteng Belanda di Pengaron, Kiai Demang Leman dengan pasukannya telah bergerak
disekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Bersama-sama
dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni 1859, kiai Demang Leman menyerbu pos
Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 bersama Haji
Buyasin dan Kiai Langlang, Kiai Demang Leman berhasil merebut benteng Belanda
di Tabanio.
Pada tanggal
27 September 1859 pertempuran terjadi juga di benteng Gunung Lawak yang
dipertahankan oleh Kiai Demang Leman dan kawan-kawan. Dalam pertempuran ini
kekuatan pasukan Kiai Demang Leman ternyata lebih kecil dibandingkan dengan
kekuatan musuh sehingga ia terpaksa mengundurkan diri. Karena rakyat
berkali-kali melakukan penyerangan gerilya, Belanda setalah beberapa waktu
lamanya menduduki benteng tersebut, kemudian merusak dan meninggalkannya.
Sewaktu meninggalkan benteng, pasukan Belanda mendapat serangan dari pasukan
Kiai Demang Leman yang masih aktif melakukan perang gerilya di daerah
sekitarnya.[3]
4. 4. Tumenggung Surapati
Tommengoeng Soera Pattie (EYD: Tumenggung Surapati) atau Tomongong Suro-patty/Soero Patti (ejaan Jawa)atau Kiai Dipati Jaya Raja, kemudian bergelar Pangeran Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat : 1875, Kalimantan Tengah) adalah hoofd
van de Doesson Oeloe, Moerong en Siang (Afdeeling Becompaij en Doesson dalam
susunan pemerintahan Hindia Belanda tahun 1848). Ia merupakan kepala suku Dayak Bakumpai-Siang yang memihak kepada Pangeran Antasari.Ia menjadi panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar.
Perang Banjar
berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya, wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun). Tumenggung Surapati
setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran
Hidayatullah yang kemudian diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe
Lada bin Ngabe Tuha. Ngabe Tuha merupakan wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai. Ngabe (ngabehi) adalah
salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan
Banjar. Ngabe Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut
suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak yaitu Ngabe Tuha, Ngabe
Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang anak perempuan bernama
Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena sakit, perjuangannya diteruskan
oleh anaknya yaitu Tumenggung Ajidan (Jidan).
Seorang cucu perempuan dari Pangeran
Antasari menikah dengan Tumenggung Ajidan, karena pernikahan tersebut
Tumenggung Ajidan dianugerahkan gelar bangsawan Raden Dipati Mangku Negara.[4]
5. 5. Tumenggung Abdul Jalil
Nama lahirnya Jalil, kemudian bergelar Tumenggung Macan Negara(nama populer Tumenggung Jalil),, kemudian bergelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja (lahir
di Kampung Palimbangan, Hulu Sungai Utara tahun 1840 –
meninggal di Benteng Tundakan, Balangan tanggal 24 September 1861 pada
umur 21 tahun) adalah panglima
perangdalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di Banua Lima, pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil merupakan
seorang jaba (Banjar: bukan berdarah bangsawan).
Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam
ilmu silat. Pada waktu berusia 20
tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Desa Tanah Habang dan Lok
Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal sebagai Kaminting Pidakan (Banjar: jagoan/jawara).
Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal
perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan
pasukan meriam dipimpin oleh Mayor Gustave Verspijck. Kapal perang itu
akhirnya sampai di Alabio, dan
seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena
rintangan yang banyak di sungai. Pertempuran terjadi di sekitar Masjid Amuntai.
Dari masjid inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah
menyerbu dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan Allahu Akbar menyerbu Belanda. Korban berjatuhan
dan perang berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan orang kafir dan mati dalam perang itu adalah
semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur
melawan penjajah Belanda. Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat
di bawah pimpinan Matia atau Mathiyassin, pembantu utama Tumenggung Jalil
dengan gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang
menjadi syuhada dalam
pertempuran itu, 44 orang di antaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah penduduk ikut
menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan
rakyat Amuntai mempertahankan agama. Di antara
kampung yang musnah adalah Kampung Karias,
dan di antara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di
bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan sungai Balangan dan sungai
Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9
Februari 1860. Pasukan-pasukan Pangeran Hidayatullah yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan Tumenggung
Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai Hambawang.
Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong di antara serdadu Belanda yang menjadi korban adalah
Kapten De Jong. Pertempuran ini menyebabkan serdadu Belanda mundur. Bantuan
serdadu Belanda kemudian diangkut dengan kapal
perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju
dan memudiki sungai Tabalong.
Sebelum mencapai daerah Tabalong,
serdadu Belanda menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati.
Sesampai di daerah Tabalong,
terjadi pertempuran dengan pasukan Tumenggung Jalil. Perlawanan rakyat cukup
sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kelua dan Amuntai.
Baru pada bulan Juni 1860 Belanda
berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari
pasukan Pangeran Hidayatullah, pasukan Tumenggung Jalil dan pasukan Pangeran Antasari dengan Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun.[5]
6. 6. Penghulu Rasyid
Penghulu Rasyid (lahir di desa Telaga Itar tahun 1815 –
meninggal di desa Banua Lawas, 15 Desember 1861 pada
umur 46 tahun) adalah salah seorang di antara sejumlah ulama Islam yang bangkit bergerak berjuang
mengangkat senjata melawan penjajah Belanda
dalam Perang Banjar. Ayah dari
Penghulu Rasyid bernama Ma’ali adalah penduduk kampung Telaga Itar. Rasyid
diperkirakan lahir sekitar tahun 1815.
Pada waktu terjadi Perang Banjar dan perjuangan yang menghangat di
seluruh wilayah Banua Lima tahun 1860 sampai
tahun 1865, Rasyid berumur 45 tahun.
Sejak kecil ia mempunyai ciri-ciri kepemimpinan dan mempunyai kepribadian yang
tinggi. Dengan pengetahuan agama Islam yang dimilikinya disertai dengan amaliah
yang kuat, Rasyid pun dijadikan sebagai pemimpin agama dengan sebutan Penghulu. Selanjutnya ia lantas dikenal
sebagai Penghulu Rasyid.
Sebagai
seorang pimpinan agama, Penghulu Rasyid tergerak jiwa patriotismenya untuk
membela negara Kesultanan Banjar yang dijajah Belanda. Penghulu Rasyid
dan para ulama lainnya mengorbankan semangat juang, sebagai gerakan Baratib
Baamal. Gerakan Baratib Baamal ini meliputi hampir seluruh Banua Lima dengan pusat kegiatan di masjid dan
langgar (surau).[6]
7. 7. Panglima Wangkang
Panglima Wangkang atau Demang Wangkang gelar Mas Demang (lahir : Marabahan 1812) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dari kalangan suku Bakumpai yang mempertahankan Distrik Bakumpai (sekarang Barito Kuala). Panglima Wangkang
merupakan panglima Dayak yang berdarah Banjar. Bapaknya bernama Kendet
(Pambakal Kendet), juga seorang pejuang dan pemimpin suku Bakumpai. Ibunya
bernama Ulan berasal dari Amuntai seorang suku Banjar.
Dalam
membicarakan perlawanan di daerah Bakumpai perlu disebut tokoh Demang Wangkang
yang juga berpengaruh. Di Marahaban ia sepakat dengan Tumenggung Surapati untuk
menyerang ibu kota Banjarmasin. Pada tanggal 25 November 1870 ia bersama
pengikutnya sebanyak 500 orang meninggalkan Marahaban menuju Banjarmasin.
Pertempuran terjadi di dalam kota, tetapi karena kekuatana Belanda cukup besar,
Demang Wangkang menarik kembalipasukaannya keluar kota.
Demang
Wangkang dan anak buahnya tidak kembali ke tempat pertahanan semula di
Marahaban, tetapi ke Sungai Durrakhman. Tidak berapa lama di situ, pada akhir
Desember 1870 datang pasukan Belanda yang kuat, terdiri atas 150 orang serdadu
dan 8 orang opsir. Pasukan Belanda ini sudah mendapat tambahan pasukan bantuan
yang di datangkan dari Surabaya dan pasukan oarng Dayak di bawah pimpinan Suto
Ono. Sebelum tiba di Durrakhman, pasuakan Belanda ini telah datang ke tempat
pertahana Deamang Wangkang semula yaitu di Marahaban, tetapi ternyata kosong.
Benteng Demang Wangkang di Durrakhmandidekati pasukan pemerintah Belanda. Terjadilah
pertempuran, dan dalam pertempuran ini Demang Wangkang menemui ajalnya.[7]
8. 8. Sultan Muhammad Seman
Sultan Muhammad Seman adalah Sultan Banjar dalam
pemerintahan pada masa 1862—1905 (versi lain 1875-1905). Nama
lahirnya Gusti Matseman. Ia
adalah putra dari Pangeran Antasari yang disebut Pagustian (Kesultanan Banjar yang Baru) sebagai
penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Di
zaman Sultan Muhammad Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, di hulu
sungai Barito. Sultan Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari
dengan Nyai Fatimah. Nyai Fatimah adalah saudara perempuan dari Tumenggung Surapati, panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito. Sultan Muhammad Seman
merupakan Sultan Banjar yang berdarah Dayak dari pihak ibunya.
Gusti Matseman
pada bagian akhir bulan Agustus 1883 beroperasi di daerah Dusun Hulu. Ia dengan
pasukannya kemudian bergerak ke Telok Mayang dan berkali-kali mengadakan
serangan terhadap pos Belanda di Muara Teweh. Sementara itu, Pangeran
Perbatasari, menantu Gusti Matseman, mengadakan perlawanan terhadap Belanda di
Pahu, daerah Kutai. Kekalahan yang di deritanya menyebabkan ia tertangkap pada
tahun 1885. Pada tahun 1888, Sultan Muhammad Seman
mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning yang sedianya akan menjadi tempat
gerakan Beratib Beramal. Sultan Muhammad Seman meneruskan
perjuangan mengusir penjajah Belanda dari tanah Banjar. Sultan beserta pejuang
lainnya seperti Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan
beberapa pejuang lainnya terus menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara
Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan di sepanjang sungai
Barito. Pada pertempuran di Benteng Baras Kuning, Sultan Muhammad Seman gugur
sebagai syuhada, setelah mempertahankan benteng dari serbuan Belanda. Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 24 Januari 1905. Demikian pula perlawanan Tumenggung
Gamar di Lok Tunggul tidak berhasil sehingga ia dengan pasukannya terpaksa
mengundurka diri ke Tanah Bambu. Di tempat ini pertempuran terjadi lagi.[8]
9. 9. Panglima Batur
Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852 -
meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada
umur 53 tahun) adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah
salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur
seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40
Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku
Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang
mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima
adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur
yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam
perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah
untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing
mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar
pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis,
menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak
seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan
dia gugur sebagai kesuma bangsa.[9]
1 10. Ratu Zaleha
Ratu Zaleha/Djaleha (lahir: Muara Lawung, 1880;
wafat:Banjarmasin 24 September 1953)adalah puteri dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari yang gigih berjuang mengusir Belanda
dalam Perang Banjar melanjutkan perjuangan Pangeran
Antasari. Ratu Zaleha berjuang bersama wanita-wanita suku Dayak yang sudah memeluk Islam seperti Bulan
Jihad atau Wulan Djihad, Illen Masidah dan lain-lain. Ratu Zaleha (nama
lahir Gusti Zaleha) merupakan
tokoh emansipasi wanita di Kalimantan.
Gugurnya
Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing, tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang dimulai
dengan penyerangan terhadap benteng dan pertambangan batu bara Oranje Nassau di Pengaron, Banjar tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905.
Tokoh-tokoh
pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya terpaksa menyerah,
mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kesultanan Banjar sebagai tawanan perang hidup dalam
pengasingan sampai hayat mereka berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti
Muhammad Arsyad, menantu Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang
ke Buitenzorg (sekarang Kota Bogor) pada tanggal 1 Agustus 1904.[10]
Ini hanyalah
sebagian tokoh-tokoh dari Perang Banjar. Masih banyak lagi tokoh-tokoh lain
yang tidak tertuliskan di sini, tokoh yang rela berkorban demi membebeaskan
tanah kelahiran dari penjajahan Belanda. Semoga dengan mengenang jasa-jasa
pahlawan, mempelajari jalan hidupnya, dan mewarisi semangat juangnya kita bisa
menjadi generasi penerus bangsa yang hebat dan membangun negeri menjadi lebih
baik.
[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Hidayatullah_II_dari_Banjar
[2]
https://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Antasari
[3]
https://id.wikipedia.org/wiki/Demang_Lehman
[4]
https://id.wikipedia.org/wiki/Tumenggung_Surapati
[5]
https://id.wikipedia.org/wiki/Tumenggung_Jalil
[6]
https://id.wikipedia.org/wiki/Penghulu_Rasyid
[7]
https://id.wikipedia.org/wiki/Panglima_Wangkang
[8]
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Seman
[9]
https://id.wikipedia.org/wiki/Panglima_Batur
[10]
https://id.wikipedia.org/wiki/Ratu_Zaleha
Post a Comment