Pangeran Abu
Bakar lahir dari keluarga bangsawan yang cukup terpandang di Kerajaan Banjar. Beliau dikenal orang sebagai keturunan
dari Raja Banjar yang gigih dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Dilihat dari keturunan pihak ayah adalah Pangeran Abu Bakar anak dari Pangeran
Singosari atau Abdullah Wijaya bin Sultan Sulaiman sedang ibunya adalah Putri
Halimah. Sultan Sulaiman merupakan Sultan Banjar yang mulai memerintah pada
tahun 1801 menggantikan ayahnya Sultan Tahmidillah II. Pada masa pemerintahan
Sultan Sulaiman, pusat pemerintahan berada di Karang Intan, Kabupaten Banjar.
Sultan Sulaiman dikenal pula dengan nama Sultan Sulaiman Saidullah II atau
Sultan Sulaiman Rahmatullah. Beliau
mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun dari ayahnya
Susuhunan Nata Alam agar penggantinya tetap pada garis keturunannya. Sultan Sulaiman melantik puteranya
Pangeran Adam sebagai raja muda dengan gelar Sultan Adam, kemudian dia sendiri
mengambil gelar Panembahan Sepuh.
Sultan Sulaiman memerintah sejak tahun 1801 dan mangkat dari jabatannya pada
tahun 1825. Ketika Sultan Sulaiman mangkat dari jabatannya ia digantikan oleh
anaknya yaitu Sultan Adam yang memerintah dari tahun 1825 sampai 1857.
Anak-anak Sultan Sulaiman terdiri 18 orang yaitu anak
laki-laki 12 orang dan anak perempuan 6 orang. Sultan Sulaiman memiliki permaisuri yang merupakan puteri Adipati
Banua Lima (golongan Anang/Nanang-nanangan Raja) yaitu Nyai Ratna bergelar Nyai
Ratu Sepuh binti Kiai Adipati
Singasari yang
dikaruniai 6 anak yaitu :
1. Sultan
Adam
2. Pangeran
Husin bergelar Pangeran Mangku Bumi Nata
3. Pangeran
Perbatasari
4. Ratu
Haji Musa
5. Pangeran
Kasir
6. Ratu
Salamah/Ratu Sungging Anum
Putera-puteri
dari istri lainnya:
- Gusti
Hadijah bergelar Ratu Mashud, menikahi Pangeran Mashud (orangtua Pangeran
Antasari).
- Pangeran
Tahmid (anak Nyai Argi)
- Pangeran Singosari
(anak Nyai Argi)
- Pangeran
Musa (anak Nyai Ratna)
- Pangeran
Sungging Anum (anak Nyai Ratna)
- Pangeran
Ahmad (anak Nyai Cina)
- Pangeran
Kacil/Pangeran Hasan (anak Nyai Cina)
- Pangeran
Tasin (anak Nyai Cina)
- Pangeran
Jamain/Pangeran Wahid (anak Nyai Cina)
- Ratu
Karta Sari (anak Nyai Unangan) menikahi dengan Pangeran Kartasari bin
Pangeran Sungging Anom bin Ratu Anom Mangku Dilaga.
- Ratu
Marta
- Gusti
Kacil/Gusti Umi
Dari 18 anak Sultan
Sulaiman ini, Sultan Adam lah yang berhak menggantikan ayahnya menjadi Sultan,
karena ia anak tertua dari anak seorang Putri atau Ratu. Sedangkan Pangeran
Singosari merupakan "perwakilan" Kerajaan Banjar di Banua Lima pada
masa pemerintahan Sultan Adam. Pada waktu kemelut Perang Banjar, hanya Pangeran
Singosari dan Pangeran Surya Mataram (anak Sultan Adam) yang masih dipercaya
oleh rakyat Banjar sebagai tempat mengadukan segala permasalahan pada masa itu.
Pangeran Singosari merupakan "perwakilan" Kesultanan Banjar di Banua
Lima.[1]
Pangeran
Singosari adalah adik dari Sultan Adam namun berbeda ibu. Sejak kecil Pangeran
Singosari bersama saudara-saudara dibesarkan di Martapura hingga dewasa. Ketika
sudah dewasa Pangeran Singosari menikah dengan perempuan bernama Putri Halimah.
Dari pernikahan ini lah kemudian lahir Pangeran Abu Bakar. Ketika Sultan Adam
naik tahta menjadi Sultan Kerajaan Banjar, Pangeran Singosari yang merupakan
saudaranya mendapat amanat atau jabatan sebagai perwakilan Kerajaan Banjar di Banua
Lima. Karena mendapat amanat tersebut, Pangeran Singosari pun menjalankan
tugasnya dan beliau meninggalkan Martapura dan tinggal di Kalua. Namun,
istrinya tetap tinggal di Martapura membesarkan anak-anak mereka.
Sebagai
keturunan dari bangsawan Kerajaan Banjar, Pangeran Abu Bakar cukup disegani di
masyarakat terutama di Desa Marindi tempat beliau berdakwah dan menghabiskan
sisa umurnya. Namun, walaupun demikian Pangeran Abu Bakar disegani dan
dihormati bukan hanya karena keturunan dari keluarga bangsawan, tetapi juga
karena ketinggian ilmu beliau dalam bidang agama yang selalu gigih dalam
mengajak masyarakat kejalan yang benar. Kedisiplinan yang selalu melekat dalam
pada diri Pangeran Abu Bakar merupakan warisan dari nenek moyangnya yang memang
memiliki rantai silsilah dari Raja-Raja Banjar.
B. Kehidupan
Rumah Tangga
Ketika usia
Pangeran Abu Bakar sudah beranjak dewasa dan sudah mencukupi syarat untuk
berkeluarga maka atas petunjuk dan dukungan keluarga beliaupun mulai membina
hubungan rumah tangga. Dalam kehidupannya Pangeran Abu Bakar mempunyai tiga
orang istri. Ketiga istri beliau ini hidup rukun, tidak ada perselisihan dan
hidup dalam satu rumah.[1]
Adapun ketiga istri beliau tersebut, yaitu :
1) Istri
yang pertama yaitu Putri Bagus
2) Istri
yang kedua yaitu Nyai Tirawa
3) Istri
yang ketiga yaitu Piah
Dari perkawinan
dengan istri pertama Putri Bagus melahirkan tiga orang anak, yaitu :
1) H.
Gusti Intan
2) Gusti
Umar
3) H.
Gusti Seman
Gusti Umar anak
Pangeran Abu Bakar yang kedua ini menghasilkan keturunan, yaitu: Gusti
Abdullah, Gusti Jahrah, Gusti Jumri, dan Gusti Khadijah. Dari pasangan Gusti
Jumri dengan Hajah Kartinah melahirkan Pangeran Khairul Saleh bupati Kabupaten
Banjar sekarang. Pangeran Khairul Saleh mempunyai lima orang saudara, yaitu:
Gusti Kadarusman, Gusti Abu Bakar, Antung Fatmawati, Antung Fatimah, dan Gusti
Sulaiman Razak.
Kemudian
Pangeran Abu Bakar kawin lagi dengan seorang perempuan yang bernama Nyai
Tirawa. Nyai Tirawa ini merupakan perempuan dari Suku Dayak Deah yang dulunya
mendiami daerah di Desa Marindi dan sekitarnya kemungkinan besar adalah anak
kepala suku Dayak.
Menurut paparan ibu Norbayah:
“Nyai
Tirawa itu dipanggil Tuan Nyai. Dipanggil Nyai karena Pangeran Abu Bakar ini
kawin dengan Jaba (rakyat bisa yang
tidak memiliki keturunan bangsawan). Sidin
itu mulai lagi anum (muda) sudah
terlihat bungas (cantik) bahkan
sampai sidin tua. Paling bungas
diantara bini-bini (istri) yang lain.
Sidin itu bisa dikatakan bunga
desanya di sini”.[2]
Perkawinan
Pangeran Abu Bakar dengan Nyai Tirawa ini menghasilkan suatu ikatan kekeluargaan
anatara Pangeran Abu Bakar dan para pengikutnya yang beragama Islam dengan Suku
Dayak Deah yang menganut kepercayaan Kaharingan. Selain itu, perkawinan ini
juga dimaksudkan untuk memperkuat jaringan dakwah Pangeran Abu Bakar di Desa
Marindi dan sekitarnya. Dengan melakukan perkawinan ini Pangeran Abu Bakar
lebih mudah mendakwahkan Islam kepada masyarakat yang masih menganut
kepercayaan nenek moyang atau lebih dikenal dengan Kaharingan, hal itu bisa
dimulai dari keluarga sang istri.
Perkawinan Pangeran
Abu Bakar dengan Nyai Tirawa ini melahirkan 6 orang anak, yaitu:
1)
H. Gusti Dakhlan
2)
Gusti Bulan
3)
Gusti Mastura
4)
Gusti Maimunah
5)
Gusti Ramli
6)
Gusti Masaid
Istri Pangeran
Abu Bakar yang ketiga juga berasal dari keturunan rakyat biasa, yaitu Piah.
Istri yang ketiga ini berasal dari Desa Buntu Karau, Kabupaten Balangan
sekarang. Ketika beliau berdakwah ketempat ini yang jaraknya berpuluh-puluh
kilometer, mengharuskan beliau untuk tinggal beberapa saat. Beliau tidak bisa
langsung pulang setelah berdakwah karena jaraknya yang cukup jauh. Di sinilah
Pangeran Abu Bakar bertemu dengan Piah salah satu perempuan yang ada di desa
tersebut. Perkawinan Pangeran Abu Bakar dengan Piah ini hanya menghasilkan satu
orang keturunan, yaitu Gusti Bandara.
Dalam kehidupan
rumah tangga, Pangeran Abu Bakar adalah orang yang adil dan bertanggungjawab
terhadap keluarganya. Ketiga istrinya hidup dengan rukun dalam satu rumah,
tidak pernah terjadi perselisihan.
Seperti penuturan ibu H. Arfah:
“orang
zaman dulu itu biasa dimadu (beristri
lebih dari satu). Apalagi kalau dimadu oleh seorang ulama seperti Pangeran Abu
Bakar. Sidin/beliau itu mempunyai
tiga orang istri yang hidup rukun dalam satu rumah. Ke-tiga istri sidin ini kada suah bekalahi (tidak pernah bertengkar), malah sangat akrab kaya badingsanak (seperti bersaudara)”.[3]
Sampai sekarang
para keturunan dari Pangeran Abu Bakar ini tersebar dibeberapa wilayah di
Kalimantan Selatan di Martapura, Kalua, Balangan, Haruai, Uya, Jaro dan
sebagian besar masih tinggal di Desa Marindi. Selain di Kalimantan Selatan
keturunan Pangeran Abu Bakar ada juga di Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur. Keturunan Pangeran Abu Bakar dari garis laki-laki masih menggunakan nama
gusti, nama bangsawan para keturunan
Kerajaan Banjar, sedangkan keturunan dari pihak perempuan tidak lagi
menggunakan nama gusti.
Ada yang unik
dari keturunan Pangeran Abu Bakar ini khususnya di Desa Marindi. Apabila anak
laki-laki yang bergelar gusti lahir
maka rambut dibagian belakang dibiarkan tumbuh panjang hingga anak tersebut
berusia kurang lebih 7 tahun atau apabila anak tersebut sudah bisa berenang di
sungai (banyalam di sungai) baru boleh dipotong. Apabila rambut tersebut
dipotong sebelum waktunya, maka mitos yang ada di masyarakat anak tersebut akan
sakit (garing). Rambut yang dibiarkan
tumbuh panjang ini dinamakan andin.
Kemungkinan besar andin digunakan
untuk menandakan keturunan dari bangsawan pada waktu itu.
Post a Comment