RIWAYAT SINGKAT
LATAR BELAKANG DAN PERJUANGAN GUSTI BUASAN
Diriwayatkan oleh
: Mahlan
(Kepala Desa Lampahungin tahun 1991) dan Haji Diris
(Penghulu Murung Pudak)
pada Rabu, 1 Mei
1991.
Tempat
: Lokasi Makam Gusti Buasan di Desa Lampahungin,
Kecamatan
Haruai.
Di tulis ulang oleh : Gusti Irwan Rusadi (Juran, 30 Juli 2014)
I. Latar Belakang
Adanya pengumuman Pemerintah
Hindia-Belanda, yang dalam hal ini Residen F.N Nieuwenhuizen tanggal 11 Juni
1860 mengenai hak tanah kerajaan Kuin, Martapura dan Amuntai akan dihapuskan
dan Pangeran Hidayat diberi ultimatum untuk menyerah kepada Kompeni Belanda.
Dengan pengumuman dan ultamatum tersebut seluruh rakyat Banjar termasuk wilayah
di Hulu Sungai dan Tabalong menentang Pemerintahan Hindia-Belanda dan siap
mengangkat senjata untuk menentang penjajah Belanda. Perang banjar dilanjutkan
yang dalam hal ini sebagai kordinator Perlawanan Rakyat dipimpin oleh Pangeran
Hidayat dan Pangeran Antasari.
Sedang sebelumnya diberbagai tempat
telah timbul pemberontakan rakyat terhadap Kompeni Belanda, diantaranya di
Kalimantan Tengah yang meliputi wilayah Kapuas, Muara Teweh, Barito, Kota
Waringin dan sekitarnya dipimpin langsung oleh Pangeran Muhammad Seman (putra
Pangeran Antasari) di bantu oleh panglimanya bernama “BATUR” (Panglima Batur).
Di martapura meliputi Riam Kanan, Cempaka, Karang Intan dan sekitarnya dipimpin
oleh “DEMANG LEHMAN”, di Pelaihari yang meliputi wilayah Sabohor, Takisung,
Batu Tongko dan sekitarnya dipimpin oleh “HAJI BUYASIN”. Di Kandangan dan
sekitarnya dipimpin oleh “ANTALUDDIN”, di Amuntai dan sekitarnya dipimpin oleh
“TEMANGGUNG JALIL”, sedang di Tabalong yang meliputi wilayah Banua Lawas,
Kalua, Tanjung, Tanta dan sekitarnya dipimpin oleh “PENGHULU RASYID”.
Sebagai akibat dari pengumuman Residen
F.N Nieuwenhuizen tanggal 11 Juni tersebut diatas, maka pihak Pangeran Antasari
yang didampingi oleh Penghulu Rasyid dan Datu Bagulung memproklamirkan
pernyataan perang terhadap Kompeni Belanda tanggal 17 Agustus 1860 yang
ditandai dengan pengebaran bendera berlukiskan keris bersilang warna merah di
Kota Tanjung. Penghulu Rasyid telah mempersiapkan sebelumnya kubu-kubu
pertahanan di Tabur, Muara Sungai Hanyar, di Kalua, Sungai Buluh, Pamarangan
dan Puain dan terakhir pertahanan terkuat di Tanjung (Murung Ujung).
Pertempuran telah terjadi di mana-mana
dan telah berlangsung selama 7 (tujuh tahun) dari tahun 1859-1865. Akhirnya
karena tidak seimbangnya kekuatan persenjataan dan juga personil Belanda yang
didatangkan dari Batavia, Semarang dan Banjarmasin, perlawanan dari hari kehari
semakin menurun disamping juga karena adanya faktor penghianatan yang semakin
menjadi-jadi karena pengaruh tahta dan harta. Selain itu faktor pimpinan
perjuangan satu demi satu gugur dan berpulang ke rahmatullah setelah berjuang
dalam jihatnya. Adapun para pemimpin yang gugur dan juga berhasil ditangkap
sebagai berikut:
1. Pangeran
Hidayatullah tertawan dan berpulang ke rahmatullah dalam masa tahanan di
Cianjur tahn 1904.
2. Pangeran Antasari
berpulang ke rahmatullah tahun 1862.
3. Temanggung
Jalil berpulang ke rahmatullah tahun 1861.
4. Demang Lehman
berpulang ke rahmatullah tahun 1864.
5. Antaluddin
berpulang ke rahmatullah tahun.......
6. Haji Buyasin
berpulang ke rahmatullah tahun 1866.
7. Penghulu Rasyid
berpulang ke rahmatullah tahun 1865.
8. Panglima Batur
berpulang ke rahmatullah tahun 1905.
9. Pangeran
Muhammad Seman berpulang ke rahmatullah tahun 1905.
Pada dasarnya setelah pemimpin
perlawanan rakyat tersebut berpulang ke rahmatullah, maka pemberontakan
dimana-mana diseluruh wilayah Kalimantan Selatan dapat dikuasai Belanda,
termasuk di wilayah Tabalong. Namun api antipati terhadap Pemerintah Belanda
tetap berkobar dihati rakyat yang sewaktu-waktu akan menyala kembali.
II. Pelarian
Sebagian besar bekas perajurit Panghulu
Rasyid yang berasal dari Habau, Pasar Arba Banua Lawas, Hariang, Hapalah,
Sungai Hanyar, Bangkiling, Banua Rantau, Kalua, Pulau, Hampukung, Sungai Rukam,
Sungai Buluh, Tantaringin dan sekitarnya yang tidak dapat bekerjasama dengan
Pemerintah Belanda. Dalam hal ini mereka tetap dikejar-kejar sebagai boronan
Belanda, mereka secara bertahap menyingkir ke hutan-hutan di wilayah Utara
Tabalong, yaitu ke Mahe, Batu Pulut, Burum, Murung Bulan (Tabalong Kiwa),
Haruai, Lampahungin, Marindi dan sekitarnya, sedangkan pelarian asal Amuntai
bermukim di Muara Uya, sedang pelarian asal Kandangan bermukim di Bongkang dan
Lombang. Sebagai bukti dapat kita perhatiakan, diamana lokasi pemukiman
pelarian asal Banua Lawas dan Kalua semuanya tetap menggunakan dialek Bahasa
Kalua dan Banua Lawas (satu dialek).
III. Riwayat Perjuangan Gusti Buasan dan
Gusti Barakit
Gusti Buasan dilahirkan sekitar tahun
1849 sedang adiknya bernama Gusti Berakit dilahirkan sekitar tahun 1851 di Desa
Pulau Kecamatan Kalua. Orang tuanya bersama seluruh keluarganya (kalangan
Gusti-Gusti) di Kalua adalah perajurit Pangeran Antasari dan Perajurit
Penghulu Rasyid. Setelah pertempuran di Tanjung tanggal 17, 18 dan 19 Agustus
1860 dan kota Tanjung dan sekitarnya dapat dikuasai oleh serdadu Belanda,
keluarga tersebut bersama-sama hijrah ke Marindi (mengenai tahun kepindahan ini
beberapa orang memiliki pendapat yang berbeda-beda) Kecamatan Haruai dan tetap
sebagai boronan Belanda.
Kedua pemuda berdarah bangsawan hidup
bersama orang tuannya dan pelarian lainnya di hutan Marindi dan mereka dapat
hidup berdampingan dengan suku Dayak Kinarum dan suku Dayak Upau. Di kampung
pelarian tersebut (Marindi) dibentuk suatu kelompok sebagai kepala adat adalah
seorang ulama bernama “GUSTI ABU BAKAR” juga berasal dari Desa Pulau Kalua,
beliau sangat simpatik kepada kedua pemuda bernama Gusti Buasan dan Gusti
Barakit, seakan-akan menaruh harapan bagi masa depan keluarga mereka. Pelarian
tersebut terjadi setelah Penghulu Rasyid meninggal dunia dalam pertempuran
dahsyat yang terjadi di Banua Lawas dan sekitarnya dalam tahun 1865. Pemuda
Gusti Buasan dan Gusti Berakit ikut terlibat dalam pertempuran tersebut sebagai
perajurit Angkatan Muda.
Perkampungan pelarian di Marindi yang
pada waktu itu masih sebahagian besarnya terdiri dari hutan lebat yang kemudian
diroboh atau dibuka untuk dijadikan areal pertanian huma tunggal.sekitar tahun
1866 Gusti Buasan atas usul Gusti Abu Bakar (seorang ulama yang diangkat dan
ditunjuk menjadi ketua kelompok) dikawinkan dengan seorang puteri salah seorang
pejuang yang ikut bermukim di Marindi (tidak diketahui namanya). Riwayat lain
mengatakan, Gusti Buasan dikawinkan dengan puteri Kepala Adat Suku Dayak
Kinarum setelah memeluk ajaran agama Islam.
Sejak setelah perkawinan dengan puteri
tersebut, Gusti Buasan dibantu oleh istri dan adiknya Gusti Barakit mulai
menyusun Pasukan Gerilya terdiri dari angkatan muda untuk melakukan perlawanan
terhadap serdadu Belanda. Gerakan pasukan gerilya tersebut telah menyebar
denagan cepatnya ke Mahe, Haruai, Batu Pulut, Lampahungin, Bongkang Muara Uya,
Lombang dan Tabalong Kiwa sebagai pasukan inti dilatih di Maindi.
Dipihak Kompani Belanda melaksanakan
kerja paksa 10 hari setiap bulan untuk membuat jalan tembus Tanjung-Haruai
terhadap rakyat pribumi. Jalan tembus tersebut dibuat sebagai sarana
perhubungan darat untuk melakukan patroli melalui Sungai Tabalong
(Amuntai-Haruai) juga tetap dilakukan. Namun dipihak pasukan gerilya sebagai
perajurit Gusti Buasan setiap saat siap melakukan pencegatan-pencegatan, baik
terhadap patroli Belanda melalui darat maupun melalui sungai. Tidak jarang
pasukan Belanda disergap dan semua pasukan Belanda mati karena kepalanya
ditenggelamkan dengan menumbangkan pohon kayu yang cukup besar sehingga
pasukannya mati tenggelam dalam air.
Pihak Belanda menyebut pasukan gerilya
Gusti Buasan ialah “PASUKAN BERANDAL” artinya pasukan yang tidak mau tunduk
terhadap Kompeni Belanda. Sekitar tahun 1904, pihak Pemerintah Belanda membuat
suatu pengumuman yang isinya sebagai berikut: “Barang siapa yang dapat
menangkap hidup atau mati terhadap gusti buasan akan diberikan hadiah yang
besar”.
Sebagai hambatan yang dihadapi Gusti
Buasan bersama pasukan gerilyanya selama ini antara lain:
· Terbatasnya
persenjataan yang dimiliki
· Terbatasnya
personil yang cukup terlatih
· Merajalelanya
penghianatan yang terpengaruh harta dan tahta.
Sebagai suatu kebiasaan dalam
kepemimpinan Gusti Buasan terhadap perajuritnya dan masyarakat sekitar tempat
tinggal perajuritnya, apabila diantaranya ada yang sakit atau meninggal dunia,
dalam hal ini Gusti Buasan mengunjunginya secara pribadi tanpa dikawal pasukan.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh penghianat sebagai musang berbulu ayam. Pada
suatu ketika diawal tahun 1904 salah seorang anggota perajuritnya yang bermukim
di Lampahungin sedang mengalami sakit yang cukup parah, Gusti Buasan diberitahu
mengenai perajuritnya yang sakit tersebut, hal itu dicium secara tajam oleh
penghianat yang bertempat tinggal di Lampahungin yang sampai pada saat itu
belum diketahui oleh masyarakat. Secara rahasia penghianat tersebut melaporkan
kepada Kompeni Belanda, sehingga dipersiapkan 1 regu pasukan inti yang bergerak
diwaktu malam mengintip Gusti Buasan disekitar rumah perajurit yang sedang
sakit tersebut.
Pada malam pertama sekitar jam 02.00
datanglah Gusti Buasan yang didampingi oleh Istri dan adiknya Gusti Barakit
menuju tempat tinggal perajurit tersebut, sebelum menaiki tangga tiba-tiba
tembakan yang beruntun dan persis mengenai sasarannya, yaitu Gusti Buasan
terkena peluru pada paha kanannya, namun beliau cepat berguling dan masuk
kedalam semak sekitar tempat kejadian itu, sedang Gusti Barakit bersama istri
Gusti Buasan juga berguling dan mencari tempat yang aman. Pihak Kompeni kempeni
tetap mencarinya sampai pada siang harinya, tetapi tidak ada tanda-tanda yang
bisa dibuntuti. Sekitar jam 07.00 pasukan kompeni kembali menuju Tanjung, namun
pasukan gerilyawan menghadangnya di Batu Pulut dan terjadi pertempuran yang
cukup dahsyat. Kabarnya beberapa anggota pasukan kompeni Belanda ada yang
gugur, disamping pasukan gerilyawan juga banyak yang gugur sebagai syuhada.
Selanjutnya oleh masyarakat di
Lampahungin sejak mundurnya pasukan Kompeni Belanda dilakukan pencarian secara
serentak di tempat persembunyian Gusti Buasan yang akhirnya ditemukan dalam
sebuah semak yang tidak jauh dari kejadian pertama. Beliau diangkat ketempat
yang aman serta diobati secara tradisional. Dalam keadaan sakitnya yang cukup
parah dan tidak mungkin lagi untuk disembuhkan, beliau beramanat:
1. Perang
perlawanan terhadap Kompeni Belanda agar tetap diteruskan sampai dengan titik
darah yang penghabisan.
2. Pimpinan Perang
Gerilya diserahkan sepenuhnya kepada adiknya Gusti Barakit apabila yang
bersangkutan masih hidup dan agar sesegeranya berangkat ke Teweh untuk meminta
bantuan personil kepada Putri Zalekha bersama Panglima Batur untuk menyerang
Tanjung.
3. Untuk sementara
apabila istrinya masih hidup agar diungsikan ketempat yang aman, yaitu di
Marindi.
Sehabis beliau menyampaikan amanat
tersebut, beliau menhembuskan nafas yang penghabisan dalam keadaan tenang,
selanjutnya dimakamkan ditempat persembunyiannya, yaitu di pemakaman yang ada
sekarang ini di Desa Lampahungin.
Dilain pihak mengenai nasib Gusti
Barakit bersama istri Gusti Buasan terus menghindar ke arah hulu dan
bersembunyi di tepi Sungai Mantikus selama beberapa hari. Sedangkan di pihak
masyarakat tetap mencarinya dan akhirnya ditemukan ditempat tersebut dalam
keadaan sehat wa’afiat yang selanjutnya sempat menghadiri upacara pemakaman
almarhum Gusti Buasan. Setelah pemakaman disampaikanlah 3 (tiga) amanat penting
dari Gusti Buasan sebagai pertimbangan untuk langkah-langkah kebijaksanaan
selanjutnya.
Perjuangan Gusti Buasan di sektor
Tabalong tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi kontak perjuangannya selalu
berkaitan dengan perjuangan masyarakat Kalimantan Tengah yang meliputi Barito,
Teweh, Kapuas dan sekitarnya. Demikian juga dengan perjuangan masyarakat di
Kalimantan Timur yang meliputi Tanah Gerogot, Pasir, Kutai dan sekitarnya.
Bantuan persenjataan serta personil antar tiga daerah ini tetap berjalan dengan
lancar dan kompak.
Satu hari setelah pemakaman, istri
almarhum Gusti Buasan diungsikan ke Marindi, sedangkan Gusti Barakit ditemani
oleh 2 orang anggota perajurit yang tahan uji berangkat ke Teweh melalui Kalua,
Ampah dan seterusnya dengan amanat penting terhadap pemimpin sementara
perajurit di sektor Tabalong antara lain:
1. Semua perajurit
yang tinggal di kampung agar dipindahkan ke lokasi tempat latihan di
hutan-hutan.
2. Untuk sementara
pencegatan terhadap patroli Belanda ditangguhkan sampai ada perintah
selanjutnya.
3. Kewaspadaan
agar lebih ditingkatkan, terutama terhadap pengkhianat yang sukar dapat
dipastikan.
Puteri Zalekha atau sering juga disebut
Ratu Zalekha adalah anak dari Sutan Muhammad Seman dan cucu dari Pangeran
Antasari asal Sungai Batang Martapura. Seuami beliau bernama Gusti Muhammad
Arsyad. Puteri Zalekha berjuang mendampingi suaminya dan ayahnya sejak berusia
20 tahun. Suaminya tertawan oleh Belanda pada tanggal 1 Agustus 1904 M.
Kedatangan Gusti Barakit disambut
hangat oleh beliau dan sekaligus membantu perjuangan rakyat Tabalong. Panglima
Batur tidak diizinkannya karena harus memimpin perjuangan rakyat Kalimantan
Tengah terhadap Kompeni Belanda.
Puteri Zalekha bersama Gusti Barakit
didamping dua orang pembantu Putri Zalekha berangkat menuju Tabalong lewat
Ampah dan Tamiyang Layang. Sesampainya di Kalua, mereka berpisah untuk
sementara, yaitu Gusti Barakit langsung ke Mahe dan Lampahungin untuk
memberikan komando persiapan perang. Sedang Puteri Zalekha bersama dua orang
pembantunya beristirahat di Desa Tantaringin (sekarang Desa Asampauh) di tempat
salah seorang keluarga asal Teluk Silang Martapura (kakek dari St. Habibah).
Sesuai dengan waktu dan jadwal yang
sudah ditetapkan bersama antara Ratu Zalekha dengan Gusti Barakit, semua
pasukan inti dipusatkan di Mahe, sedang pasukan cadangan ditempatkan di
Tabalong Kiwa dan Haruai secara serentak. Sedangkan Ratu Zalekha berangkat
menuju Mahe ditemani oleh Datu Ambia asal teluk Manduin Kecamatan Muara Harus
ditambah dua orang pembantunya melalui jalur Mangkusip, Murung Pudak dan Tabing
Siring. Dari Tabing Siring diangkut perahu menuju mahe. Karena disiplin waktu,
sehingga seluruh pasukan sudah terkumpul disektor Mahe, sektor Tabalong Kiwa
dan Sektor Haruai.
Dari pihak Kompeni Belanda, sejak
gugurnya Gusti Buasan dan menghilangnya Gusti Barakit dan istri Gusti Buasan
yang menurut perkiraan mereka keduanya telah gugur bersama Gusti Buasan,
disamping perlawanan rakyat selama ini tidak pernah lagi dilakukan oleh pasukan
Berandal, hal ini dianggap oleh Kompeni Belanda keadaan sudah aman, perlawanan
rakyat 100% telah terpatahkan. Oleh karena itu pihak Kompeni Belanda segera
akan menempatkan kompi pertahanan di Mahe dan Haruai (Sektor Utara) yang selama
ini mereka belum ada keberanian. Hal ini diketahui oleh Gusti Barakit
disebabkan adanya kebocoran dari pihak sepion (mata-mata) yang
tertangkap oleh seorang gerilyawan yang menyamar sebagai sepion Belanda.Rencana
penyerangan Tanjung untuk sementara ditangguhkan, disebabkan rencana Kompeni
Belanda akan menempatkan kompi keamanannya disektor Utara yang telah dianggap
aman, yaitu Mahe dan Haruai. Sejak keputusan itu diambil, semua penjuru
disektor Mahe dijaga dengan ketat, kemungkinan pihak sepion (mata-mata)
Belanda melaporkan ke Tanjung.
Pada malam berikutnya bergerak pasukan
Kompeni Belanda menuju Mahe, sekitar jam 03.00 pasukan tersebut tekah tiba di
Mahe. Atas komando Ratu Zalekha, dengan sistem gerilya pasukan Kompeni Belanda
diserang dengan tiba-tiba, sehingga terjadi pertempuran yang dahsyat. Tiga hari
kemudian pasukan cadangan di Haruai dan Tabalong Kiwa diperintahkan turun
ke Mahe, karena pasukan Belanda mendapat bantuan dari Kandangan dan Amuntai.
Puteri Zalekha sebagai perajurit yang cukup
sakti dan tidak terkena sasaran peluru cukup gigih memberikan komando
perlawanan dan tetap berada pada bagian terdepan. Jumlah korban kedua belah
pihak cukup banyak. Namun sebagai akibat tidak seimbangnyanya kekuatan personil
dan logistik, akhirnya seluruh kekuatan gerilyawan Mahe dapat dikuasai oleh
Kompeni Belanda. Anggota gerilyawan yang masih selamat mereka kembali
mengamankan diri di hutan-hutan yang dianggap aman, sedang Puteri Zalekha
bersama dua orang pembantunya kembali menuju Tewe. Berhubung fisik beliau dalam
keadaan sakit-sakitan, akhirnya menyerah kepada Kompeni Belanda di tewe. Oleh
Kompeni Belanda beliau diasingkan bersama suaminya di Bogor. Alhamdulillah
suami-istri tersebut berusia panjang, sehingga dalam tahun 1937 beliau
dibebaskan dan sempat menikmati Indonesia merdeka. Pada tanggal 24 September
1953 Puteri Zalekha berpulang ke rahmatullah dan di makamkan di Martapura.