Halloween Costume ideas 2015

HARUAI-WIRANG.blogspot.com

October 2016



Kecamatan Haruai   


Pada awalnya  Kecamatan Haruai adalah salah satu kecamatan tertua dari lima kecamatan yang ada di Kebupaten Tabalong yang berdiri sejak tahun 1965 bertepatan dengan dibentuknya Kabupaten Tabalong berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Tanah Laut, Daerah Tingkat II Tapin dan Daerah Tingkat II Tabalong ( Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2765), dengan luas wilayah lebih kurang 1.187.27 km2.

Bentuk morfologi wilayah ini dapat dibagi menjadi empat, yaitu daratan alluvial, dataran, bukit, dan pegunungan dengan didominasi oleh dataran[1], serta wilayah ini termasuk wilayah pengembangan pembangunan utara dengan potensi pada perkebunan/pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, kehutanan, daerah transmigrasi serta pariwisata[2]. Secara geografis Kecamatan Haruai terletak pada 116° Bujur Timur dan 2° Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah[3], yaitu:
1.      Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Muara Uya2.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Murung Pudak dan Kecamatan Tanjung3.      Sebelah Barat dengan Kecamatan Tanjung dan Kecamatan Bintang Ara4.      Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Kecamatan Upau. Desa-desa di Kecamatan Haruai dalam memilih seorang kepala desa yaitu dengan cara pemilihan langsung secara demokratis, secara administrasi Kecamatan Haruai terbagi menjadi 13 desa[4], yaitu:
1.      Lok Batu
2.      Kembang Kuning
3.      Seradang
4.      Halong
5.      Suput
6.      Catur Karya
7.      Mahe Pasar
8.      Surian
9.      Bongkang
10.  Wirang
11.  Nawin
12.  Marindi
            Mengenai kependudukan, berdasarkan laporan dari registrasi penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Kecamatan Haruai yaitu 20.710 jiwa dengan kepadatan 44 jiwa/km², laju pertumbuhan rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 0,56%, hal ini dikarenakan besarnya migrasi penduduk dari luar daerah ke Tabalong[5], khususnya di Kecamatan Haruai.             Komoditi pertanian andalan Kecamatan Haruai adalah pada sektor tanaman pangan khususnya Padi, menurut catatan BPS Kabupaten Tabalong pada tahun 2011, pertanian sawah tadah hujan menduduki peringkat pertama, yaitu mencapai angka 1.953 Ha[6], disusul dengan penanaman padi pada ladang atau yang dikenal masyarakat setempat dengan bahuma gunung atau bahuma lungkung yang biasanya penanamannya melalui proses manugal. Sedangkan untuk sektor perkebunan, Karet menduduki peringkat pertama dengan luas penanaman pada tahun 2011 adalah 5.560 Ha dan hasil produksi 6.116 ton, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kebun karet dipinggir jalan Kecamatan Haruai atau dibelakang rumah penduduk otomatis mata pencaharian utamanya adalah Karet, sedangkan bertani Padi hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk, bukan untuk dijual.

[1]               Ibid.[2]               BAPPEDA dan BPS Kabupaten Tabalong, Loc. Cit[3]               BPS Kabupaten Tabalaong Statistik Daerah Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong    2012       (Tanjung, BPS Kabupaten Tabalong, 2012), hlm. 1.
[4]               Statistik Daerah Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong 2012, Loc.Cit
[5]               Ibid
[6]               Ibid












pohon karet

  • MANUREH
Tabalong adalah salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Baik itu sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun tidak. Sumber kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui ini berupa batu bara, emas, batu gunung (untuk pondasi bangunan) dan lainnya, sedangkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui yaitu berada di sektor peternakan, perikanan, pertanian dan perkebunan. Perkebunan yang terbesar di kabupaten Tabalong adalah perkebunan karet. Berkebun karet merupakan pekerjaan mayoritas masyarakat di kabupaten Tabalong.
MANUREH

Mungkin kalian yang berasal dari luar Tabalong atau bahkan luar Kalimantan pernah mendengar istilah manureh, apa itu manureh?. Manureh adalah istilah yang digunakan masyarakat Tabalong untuk menyebut pekerjaan menyadap pohon karet. Selain manureh istilah lain yang juga sering digunakan yaitu mamantat, istilah ini sama artinya dengan manureh, yaitu menyadap pohon karet dengan menggunakan alat yang dinamakan pahat.



  • BAHUMA


PADI YANG SUDAH MATANG

Bahuma (bahasa Banjar) merupakan mayoritas mata pencaharian masyarakat di kabupaten Tabalong. Bahuma berasal dari kata huma yang artinya menanam padi. Lahan untuk menanam padi ini biasa disebut dengan pahumaan. Di kabupaten Tabalong teknik menanam padi biasanya terbagi menjadi dua, yaitu; menanam padi di sawah (baruh) dan menanam padi di lereng-lereng gunung atau yang sering disebut bahuma lungkung. Banyak orang menilai beras hasil dari bahuma lungkung ini lebih enak daripda yang ditanam di sawah dan aromanya lebih harum.

Bahuma lungkung biasanya dimulai pada pertengahan musim kemarau dan diawali dengan menebang pohon (batabang) yang nantinya akan di jadikan lahan untuk menanam padi. Dilakukan dipertengahan musim kemarau ini bertujuan agar ketika padi sudah ditanam di lahan yang sudah dibersihkan tepat memasuki musim hujan dan padi bisa tumbuh dengan subur. Berikut saya uraikan langkah-langkah bahuma lungkung:

1. Batabang (menebang pohon)
Lokasi untuk bahuma lungkung biasanya kebanyakan berupa burupa hutan lebat yang terdapat pohon-pohon besar atau semak belukar, jadi semua pohon harus ditebang terlebih dahulu. Proses penebangan ini biasanya berlangsung kurang lebih satu minggu tergantung luas lahan yang ingin ditanami dan jumlah pohon yang ditebang.

2. Manyalukut (membakar pohon-pohon yang sudah ditebang)
Manyalukut atau membakar hasil penebangan pohon dan semak ini dilakukan setelah daun dan ranting-ranting pohon yang ditebang sudah mengering. Proses pengeringan hasil tebangan tadi biasanya memakan waktu 2 minggu hingga satu bulan tergantung cuaca semakin kering semakin bagus hasil pembakarannya.

3. Mamanduk (membersihkan lahan hasil pembakaran)
Lahan yang sudah dibakar tadi harus dibersihkan lagi karena biasanya tidak semua ranting atau batang pohon terbakar khususnya batang pohon yang berukuran besar. Proses mamanduk ini dilakukan dengan cara mengumpulkan batang-batang pohon yang tidak terbakar dikumpulkan menjadi satu kemudian dibakar ulang. Proses ini dilakukan sampai lahan bersih dan siap untuk ditanami padi.
membakar lahan untuk pertanian


4. Manugal (proses menanam padi)
Tahapan bahuma lungkung yang paling saya sukai yaitu pada bagian menanam padi atau dalam bahasa Banjarnya manugal. Proses manugal ini dalam tradisi masyarakat Banjar pahuluan dilakukan dengan bergotong-royong antar sesama petani maupun sanak keluarga. Apabila hari ini manugal di lahan si A maka si B, si C, si D, si E ikut membantu dan sebaliknya hingga lahan masing-masing selesai ditanami padi. Dalam proses manugal laki-laki dan perempuan memiliki tugasnya masing-masing, laki-laki bertugas membuat lobang di tanah menggunakan batang pohon yang dilancipi bagian ujungnya (ma asak) sedang perempuannya bertuga mengisi lobang tadi dengan padi.

5. Maurai (batang  padi mulai berbuah)
Maurai ini adalah istilah untuk bunga padi yang mulai berbuah.

6. Mangatam (proses memanen padi)
panen padi

Mangatam adalah proses memetik buah padi dengan menggunakan alat yang dinamai renggaman. Renggaman adalah alat tradisional masyarakat Banjar untuk memetik tangkai padi yang terbuat dari papan berbentuk segi empat dengan panjang 8 cm dan lebar 5 cm dan ditengah terdapa silet tajam untuk memotong tangkai padi. Namun belakangan ini penggunaan ranggaman ini untuk memetik padi mulai berkurang dan digantikan dengan sebuah alat khusus pemotong padi berbentuk seperti celurit. Alat ini lebih mudah digunakan dan juga lebih cepat.




Sejarah Pembentukan Kabupaten Tabalong
sumber foto: http://www.metro7.co.id/2014/04/maskot-tabalong-terancam-lenyap.html
Tabalong satu kabupaten di provinsi KalimantanSelatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Tanjung. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.496 km² dan berpenduduk sebanyak 218.954 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010). Motto kabupaten ini ialah Saraba Kawa dalam bahasa Banjar yang berarti Serba Sanggup.
Pada tanggal 15 Maret 1958, atas permufakatan orang-orang terkemuka di Tanjung yang diprakarsai oleh Baharuddin Akhmid yang waktu itu menjabat Asisten Wedana di Kecamatan Tabalong Selatan, maka dibentuklah Panitia sementara Penuntutan Daerah Swatantra Tingkat II Tabalong yang disusun kepengurusannya sebagai berikut:
·         Penasihat: Baharuddin Akhmid
·         Ketua: Juhri
·         Wakil Ketua: A. Salman
·         Sekretaris: Usnan As
·         Wakil Sekretaris: Abdullah Khairul
·         Bendahara: H. Baderi
·         Pembantu Umum: As'ad
·         Anggota-anggota : A. Syamsi, H.A. Sudani dan M. Salman
Setelah Panitia Sementara terbentuk, untuk kepentingan perjuangan serta terjadinya beberapa mutasi terhadap Pegawai Negeri yang sudah duduk dalam kepanitian, maka komposisi dan personalia panitia penuntut mengalami beberapa kali perubahan hingga sampai pada Panitia V, di mana orang-orang yang mempunyai andil besar dan pernah menjadi Panitia Penuntut adalah sebagai berikut:
·         Abdussyukur
·         Amir Hasan
·         A. Sajeli
·         Basuni Ulita
·         A. Husaini
·         Juhrani
·         Majedi Effendi
·         Abdurahman Hamud
·         H. Baderi
·         H. Juhri Taher
·         H. Alikurdi Almas
·         Kadirman
·         H. Abdul Gani
·         Syahrap
·         H. Kurdi
·         Yahya Z.
·         H. Imansyah
·         Hiskia Tiro
·         H. Basuni (Kepala Desa)
·         Idar
·         Masran
Tak luput pula peran media massa dan RRI Banjarmasin selalu menginformasikan segala kegiatan masyarakat Tabalong dengan kekompakan perjuangan panitia dalam segala bidang, akhirnya pada tanggal 5 Mei 1959 dalam sidang pleno terbuka DPRD Hulu Sungai Utara telah memutuskan menyetujui sepenuhnya tuntutan rakyat Tabalong agar Kewedanaan Tabalong dapat dijadikan Daerah Swatantra Tingkat II Tabalong dengan ibukota Tanjung yang terkenal dengan resolusi pada tanggal 5 Mei 1959 Nomor 2/II DPRD-1959 yang isinya selain menyetujui juga mendesak Pemerintah Pusat agar tuntutan dimaksud dapat dikabulkan. Perjuangan kearah yang diinginkan terlihat adanya titik terang, langkah semakin jelas, maka diperkuat lagi kedudukan panitia untuk melancarkan arus perjuangan, maka Panitia sebelumnya disempurnakan lagi dengan Panitia VI sebagai berikut:
·         Ketua Umum: Juhri
·         Ketua I: M. Salman
·         Ketua II: Maslan
·         Penulis I: Usnan As
·         Penulis II: Abdullah
·         Bendahara: Norbek
·         Pembantu-pembantu: Semua Camat dalam Kewedanaan Tabalong dan semua anggota DPRD Hulu Sungai Utara yang tinggal di Kewedanaan Tabalong
·         Seksi Politik: H. Baijuri Y, Ruminto dan kawan-kawan
·         Seksi Bangunan: Anang Basar, Donarian dan kawan-kawan
·         Seksi Perencanaan: Abdurrahman Projakal dan kawan-kawan
·         Seksi Penerangan: A. Syamsi dan Hamidhan Baseri
·         Seksi Organisasi: Makmod Asnawi, Hamad dan kawan-kawan
Panitia ini telah berusaha dengan sekuat tenaga dan dana uang ada, mengadakan hubungan dengan pihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dengan DPRD GR-nya, serta tokoh-tokoh politik dan ormas yang diwakili dalam DPRD-GR Provinsi Kalimantan Selatan, agar dapat dukungan dari mereka atas tuntutan ini.
Dari adanya kegiatan tersebut serta kerja sama yang harmonis, maka dalam sidang istimewa DPRD-GR Kalimantan Selatan telah menyetujui tuntutan rakyat Tabalong, Tapin dan Tanah Laut masing-masing dijadikan Daerah Swantantra Tingkat II.
DPRD-GR Provinsi Kalimantan Selatan mengeluarkan Resolusi yang ditujukan ke Pemerintah Pusat, memohon Pemerintah Pusat dapat menyetujui dan selanjutnya melahirkan Daerah Tingkat II. Panitia dalam usahanya memperjuangkan ketingkat Pusat telah menghubungi Gubernur Kalimantan Selatan (waktu itu) Haji Maksid, untuk memohon nasihat dan petunjuk serta doa restu untuk berangkat ke Jakarta oleh Gubernur diberikan Petunjuk-petunjuk dan sekaligus merestui keberangkatan Panitia menemui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, serta Pejabat-pejabat Tinggi lainnya guna menyampaikan hasrat Rakyat Tabalong dimaksud.
Berangkatlah Juhri dan Usman, masing-masing selaku ketua Umum dan sekretaris Panitia dan pula oleh Muhyar Usman selaku wakil dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Dalam waktu yang relatif singkat, rombongan Panitia telah dapat diterima oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah IPIK Gandamana dalam percakapan akhir dia mengatakan, bahwa pada prinsipnya saya dapat menyetujui tuntutan ini dan akan diajukan pada Sidang DPR-GR yang akan datang.
Sebagai realisasi dari kunjungan Panitia, oleh DPR-GR telah mengutus ketua Komisi B, yaitu I.S. Handoko Wijoyo untuk meninjau ketiga calon Daerah Tingkat II dimaksud, dalam kunjungan ke Tabalong I.S. Handoko Wijoyo mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk tidak menyetujui tuntutan Rakyat Tabalong ini.
Pada tanggal 5 September 1964 Kewadenaan Tabalong telah ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Persiapan Tingkat II Tabalong dengan Kepala Kantor Usman Dundrung Bekas Wedana Barabai.
Lahirnya Undang-undang Noor 8 Tahun 1965 Tanggal 14 juni 1965 yang mendorong daerah pesiapan Tingkat II Tabalong ini ditingkatkan lagi menjadi Daerah Otonomi Tingkat II Tabalong yang menjalankan roda pemerintahan sendiri baik eksekutif maupun legislatif dan untuk ini juga Pemerintah tetap dipercayakan kepada Usman Dundrung.
Pada tanggal 1 Desember 1965 pukul 11.00 pagi bertempat di lapangan Giat Kota Tanjung oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Dr. Soemarno Sosro Atmodjo dengan disaksikan puluhan ribu rakyat Tabalong dan Pejabat-pejabat tinggi Kalimantan Selatan lainnya, maka papan nama yang diselubungi kain bludru hijau dengan untaian sutra kuning keemasan, telah dibuka dengan resmi oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dan dibalik selubung yang terbuka itu terpampang kalimat bersenjarah yang berbunyi, "DAERAH TINGKAT II TABALONG DIRESMIKAN 1 DESEMBER 1965″.
Sumber: Wikipedia


sejarah karet di indonesia

Sejarah karet bermula ketika Christopher Columbus menemukan benua Amerika pada 1476. saat itu, Columbus tercengang melihat orang-orang Indian bermain bola dengan menggunakan suatu bahan yang dapat melantun bila dijatuhkan ketanah. Bola tersebut terbuat dari campuran akar, kayu, dan rumput yang dicampur dengan suatu bahan (lateks) kemudian dipanaskan diatas unggun dan dibulatkan seperti bola. Pada 1731, para ilmuwan mulai tertarik untuk menyelidiki bahan tersebut. seorang ahli dari Perancis bernama Fresnau melaporkan bahwa banyak tanaman yang dapat menghasilkan lateks atau karet, diantaranya dari jenis Havea brasilienss yang tumbuh di hutan Amazon di Brazil. Saat ini tanaman tersebut menjadi tanaman penghasil karet utama, dan sudah dibudidayakan di Asia Tenggara yang menjadi penghasil karet utama di dunia saat ini.
Menidaklanjuti apa yang disampaikan Charles Marie de la Condamine dan Francois Fresneau dari Perancis bahwa ada beberapa jenis tanaman yang dapat menghasilkan lateks atau karet, kemudian Sir Clement R. Markham bersama Sir Joseph Dalton Hooker berusaha membudidayakan beberapa jenis pohon karet tesebut. Pada tahun 1835, Hancock mendekati Direktur Botanical Garden Kew London, Sir William Hooker dan menasehatinya untuk turut membantu mengenalkan dan mulai menanam pohon karet Hevea di wilayah kolonial Inggris yang berada Asia. Namun ide ini kurang direspon oleh Sir William Hooker. Beberapa tahun kemudian kesadaran untuk mulai membudidayakan pohon karet, diawali oleh Sir Clements Markham, pegawai pemerintahan Inggris di India. Beliau kemudian meminta James Collin yang telah terlebih dahulu mempelajari karet untuk mengerjakan proyek penanaman tersebut. Hasil studi Collin dipublikasikan tahun 1872 dan menjadi perhatian Direktur Kew Botanic Garden yang baru, Sir Joseph Hooker, putra dari Sir William Hooker. Selanjutnya Joseph Hooker berkerja sama dengan James Collin dalam usaha membudidayakan karet. Joseph Hooker membeli sekitar 2000 biji karet dari Farris atas permintaan Collin. Biji karet tersebut dicoba dikecambahkan namun pada akhirnya hanya 12 biji yang berhasil tumbuh hingga menjadi tanaman karet baru.
Ketertarikan untuk membudidayakan karet muncul dari bangsawan Inggris lainnya, Sir Henry Wickman yang menjelajahi hutan Amazon untuk mengumpulkan biji karet dan pada akhirnya berhasil membawa sekitar 70.000 biji karet ke Inggris tahun 1876. Biji karet Wickman kemudian dikecambahkan di Kew Botanical Garden namun hanya sekitar 2000 biji saja yang mampu berkecambah. Usaha budidaya karet juga terus dilakukan oleh Sir Clements Markham, beliau mengutus Robert Cross ke Amazon untuk mengumpulkan biji karet seperti yang dilakukan oleh Sir Wickman. Cross kembali ke Inggris dan berhasil membawa 1080 biji namun hanya 3% saja yang mampu bertahan selama perjalanan dari Brazil ke Inggris tanpa menjadi busuk.
Seratus buah biji karet Wickman yang berhasil tumbuh menjadi bibit perkecambahan kemudian dikirim ke Ceylon (sekarang Sri Langka) dari Kew Botanical Garden pada bulan September 1876. Selanjutnya di bulan Juni 1877, Kew Botanical Garden kembali mendistribusikan 22 tanaman karet dengan tujuan Singapore Botanical Garden. Tanaman karet tersebut diterima oleh Henry Ridley selaku Direktur Singapore Botanical Garden yang selanjutnya dijuluki ”mad Ridley” karena kegigihannya dalam membudidayakan tanaman karet di tanah Malaya. Henry Ridley menanam 75% dari tanaman itu di Residency Garden di Kuala Kangsar kemudian di tahun 1884, Frank Swettenham menanam 400 biji di Perak dimana biji ini merupakan hasil pohon karet yang ditanam di kuala kangsar dan selanjutnya antara tahun 1883 – 1885 ditanam di Selangor oleh T. H. Hill. Ridley juga mengenalkan teknik eksploitasi getah karet dengan penyadapan tanpa menebang pohon karetnya.
Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di Indonesia yang pada waktu itu masih jajahan belanda. Di tahun 1876 Kew Botanical Garden juga mengirimkan 18 buah biji karet ke pemerintahan kolonial India Belanda (sekarang Indonesia) namun demikian hanya dua buah biji yang berhasil tetap segar selama diperjalanan. Dua biji ini kemudian ditanam di Cultuurtuin Bogor sebagai koleksi dan menjadi pohon karet tertua di Indonesia. Dari tanaman koleksi, karet selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersil. Daerah yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah species Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet Havea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Pada awalnya, penanaman Hevea di Indonesia kurang mendapat respon positif karena masyarakat telah lebih dahulu mengenal pohon lokal yang juga menghasilkan getah yaitu Fiscus elastica. Pohon berdaun lebar dan bersinar ini merupakan pohon favorit masyarakat Belanda. Selain itu juga pemerintah Belanda lebih menyukai menanam pohon karet jenis Manihot glaziovii yang tumbuh dengan baik di propinsi dengan iklim kering di Brasil yaitu Ceara dan Castiloa elastica yang aslinya berasal dari Mexico dengan anggapan bahwa pohon karet Hevea hanya mampu tumbuh didaerah dengan kelembaban tinggi. Tahun 1889, Pemerintah Belanda membuka perkebunan karet di daerah Pamanukan dan Ciasemlanden, Jawa Barat dengan karet yang ditanam jenis Fiscus elastica. Perkebunan ini dianggap sebagai perkebunan karet tertua di dunia. Hasil dari perkebunan kurang memuaskan karena produktivitas lateks rendah dan tanaman mudah terserang hama dan penyakit.
Pemerintah Belanda terus mengadakan perbaikan, mereka mulai mencari daerah di Indonesia yang cocok untuk ditanami karet jenis Hevea. Penamanan karet hevea komersial di Indonesia diawali pada tahun 1902 di Sumatera dan dilanjutkan di Jawa pada tahun 1906. Akibat peningkatan permintaan akan karet di pasar internasional, maka pemerintahan Nedherland Indies menawarkan peluang penanaman modal bagi investor luar. Perusahaan Belanda–Amerika, Holland Amerikaance Plantage Matschappij (HAPM) pada tahun 1910-1911 ikut menanamkan modal dalam membuka perkebunan karet di Sumatera. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya transportasi yang memadai. Para investor asing dalam mengelola perkebunan mengerahkan biaya, teknik budidaya yang ilmiah dan modern, serta teknik pemasaran yang modern. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring dengan naiknya permintaan karet dunia dan kenaikkan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah. Pada masa itu, penduduk umumnya membudidayakan karet sambil menanam padi. Jika tanah yang diolah kurang subur, mereka pindah mencari lahan baru. Namun, mereka tetap memantau pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga dapat dipanen.
sumber: http:www.intipsejarah.com

Bunga Bangkai
Bunga bangkai adalah salah satu bunga dengan ciri khas yaitu beraroma seperti bangkai (bau busuk). Bunga bangkai berbeda dengan bunga Rafflesia, terutama dilihat dari bentuk bunganya; Selain bunga bangai yang berbentuk indah dengan warna terang ada juga bunga bangkai yang terlihat biasa dan kurang menarik, seperti yang kami temukan beberapa hari yang lalu (lihat gambar).

                             Foto; di ambil oleh Rusmawati di Desa Marindi kecamtan Haruai
Di kabupaten Tabalong sering ditemui bunga bangkai jenis ini. Bunga bangkai ini biasanya tumbuh di tempat-tempat lembab dan sering juga ditemui di pinggir-pinggir sungai. Dilihat secara seksama bunga bangkai ini hanya terdiri dari batang, kelopak bunga dan bagian tengah kelopak bunga dengan kuncup memanjang. Sedangkan warnanya bagian batang berwarna hijau tua dengan bercak putih, bagian kelopak berwarna hijau muda dan bagian kuncupnya berwarna ungu. Di dalam kelopak bunga terdapat cairan dan banyak terdapat serangga yang terperangkapdi dalamnya.


Setelah beberapa minggu kelopak dan kuncup bunga ini akan layu setelah itu akan muncul buah dari bunga bangkai ini. Bentuk buah bungai bangkai ini sekilas dilihat seperti jangung hanya saja terlihat lebih panjang dan bijinya berwarna-warnai, hijau (masih muda), kuning (sudah tua) dan merah (telah masak). Buah bunga bangkai yang sudah masak ini sangat disukai oleh burung (burung Karuang). Saya dulu suka memasang jerat burung dengan menggunakan buah bunga bangkai ini dan pasti berhasil kami menamakan buah bunga bangkai ini dengan nama udukan. Dan yang perlu diketahui selain berbau busuk bunga bangkai ini juga bisa mengakibatkan gatal-gatal apabila tersentuh oleh kulit, jadi apabila menemukan bunga bangkai saya sarankan untuk tidak menyentuhnya.



Mitos “Tambun”

Oleh: G.I.R
Apakah kalian pernah mendengar istilah “Tambun” Atau mungkin ditakut-takuti tentang makhluk bernama “Tambun”?. Waktu kecil saya sering ditakut-takuni oleh orang tua apabila ingin mandi ke sungai, dikatakan bahwa di sungai tersebut terdapat makhluk bernama tambun. Lalu apa sebenarnya Tambun itu, makhluk seperti apa dan apakah hanya mitos atau benar-benar ada?.
Istilah “Tambun” sering kita dengar di Masyarakat khususnya di Kalimantan Selatan (Dayak dan Banjar). Tambun ini diyakini masyarakat makhluk yang hidup di sungai dan akan muncul apabila air  sungai naik (banyu badalam). Masih menurut cerita masyarakat bahwa ada beberapa orang yang pernah melihat Tambun ini, ada yang mengatakan bentuknya seperti sapi, yang lain mengatakan seperti Kuda Nil dan ada juga yang mengatakan kemunculannya diawali dengan timbulnya pusaran air yang besar (ulakan). Tetapi tidak ada orang yang secara spesifik bisa menjelaskan bagaimana bentuk nyata dati Tambun ini, baik itu penjelasan secara lisan maupun bukti gambar/foto. Sayapun secara pribadi tidak pernah melihat bagaimana bentuk Tambun ini dan saya meragukan akan keberadaannya. Pertanyaan selanjutnya yaitu, dari mana istilah ‘Tambun” itu bersal? Simak penjelasan berikut ini!
Istilah tambun ini berasal dari kepercayaan pra-Islam yang di Kalimantan serin disebut dengan “Kaharingan”. Dalam kepercayaan Kaharingan dikenal dengan adanya penguasa alam bawah (air) yang dikenal dengan sebutan Tambun yang menurut kepercayaan bentuknya seperti naga atau ular besar. Tambun diyakini tinggal di sungai yang airnya dalam (lu-uk) dan terdapat pusaran air (ulakan/ba-ulak). Khusus di Daerah HST dan HSS ada beberapa tempat yang diawali dengan kata Lok, seperti Lok Laga, Lok Sado, Lok Lahung dll. Lok berasal dari kata lu-uk yang artinya bagian sungai yang dalam. Pada masa penjajahan Belanda, orang-orang Belanda tidak bisa menyebutkan kata lu-uk sehingga di dalam catatan adminestatif Belanda di tulis dengan kata Lok.
Selain kepercayaan tentang makhluk tambun sebagai pengusa alam bawah, di Kalimantan Selatan khususnya di daerah Kalua juga terdapat kepercayaan akan adanya makhluk bawah air yaitu buaya kuning atau buaya gaib. Baik itu tambun ataupun buaya kuning ini mereka hanya akan menampakkan darinya kepada orang-orang tertentu saja, sedangankan orang awam tidak dapat melihatnya. Jadi bagi orang awam tambun itu hanya makhluk mitos yang dianggap benar-benar ada karena tidak pernah melihat bagaimana wujud aslinya, kemunculannya hanya dikaitkan dengan kenaikan air sungai (banyu dalam) dan kemunculan pusaran air yang besar.
Kepercayaan tentang adanya makhluk tambun ini diceritakan turun-menurun hingga saat ini. Bagi orang tua yang anak suka mandi ke sungai sering ditakut-takuti dengan kemunculan tambun. Apalgi setelah hujan lebat turun dan air sungai mulai meningkat maka anak-anak dilarang mandi di sungai takut dimakan tambun.
Pesan yang dapat kita ambil dari mitos tambun ini yaitu, bagi anak-anak terutama yang belum mahir berenang, jangan suka mandi di sungai apabila air sungai sedang meningkat. Air sungai yang sedang naik biasanya berarus deras dan berbahaya bagi anak-anak.
Demikian uraian saya mengenai mitos tambun. Terimakasih !!!
mitos tambun


Sumber gambar:https://folksofdayak.wordpress.com

Haji Pangeran Abu Bakar (Awal kedatangan ke desa Marindi dan asal usul nama Lusia)

kUBAH PANGERAN ABU BAKAR DI MARINDI


Marindi adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong. Desa Marindi terletak sebelah timur Kecamatan Haruai dan berjarak 8 km dari ibukota kecamatan, 33 km dari ibukota kabupaten, dan 250 km dari ibukota provinsi. Desa Marindi memiliki luas wilayah 30 km² (Profil Desa Marindi), secara geografis memiliki batas wilayah sebagai berikut :
1.      Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Muara Uya
2.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Upau
3.      Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Upau
4.      Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wirang
Kondisi alam wilayah Desa Marindi pada umumnya berdataran rendah dengan sedikit berbukit, terdiri dari daerah lahan kering, sedikit lahan basah (sawah), dan tidak rawan banjir. Pemukiman penduduk Desa Marindi terletak berbanjar di tepian sungai Kinarum yang membentang dari Timur ke Barat. Seperti masyarakat pada umumnya, penduduk Desa Marindi juga sangat bergantung pada keberadaan sungai Kinarum sebagai sumber kehidupan (Profil Desa Marindi).
Dalam hal ekonomi pada umumnya mata pencaharian penduduk Desa Marindi yaitu dari hasil bertani. Bertani yaitu menanam padi baik di sawah ataupun diladang yang sering disebut bahuma, selain padi ada juga beberapa tanaman lain yang ditanam seperti pisang dan berbagai jenis buah-buahan lainnya. Bahuma atau menanam padi di gunung merupakan sistem bercocok tanam tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang sebagian besar penduduk Kalimantan dan sampai sekarang masing bisa dijumpai terutama untuk wilayah berdataran tinggi. Bahuma gunung ini hanya dilakukan sekali dalam setahun, sesuai dengan peredaran musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau mereka membabat semak belukar atau batabang, yang kemudian dibakar atau disirau kemudian ditanami bibit.[1]
Selain menanam padi dan berbagai jenis buah-buahan, penduduk Desa Marindi juga berkebun karet. Karet di Kabupaten Tabalong dibawa oleh Belanda pada tahun 1907, ketika itu pemerintah Hindia Belanda telah mendorong penanaman besar-besaran di Kalimantan Selatan yaitu di Tabalong dan afdeeling Amuntai.[2]  Sampai sekarang mata pencaharian utama penduduk Desa Marindi yaitu dari hasil berkebun karet atau manureh dan juga bahuma padi. Walaupun ada juga sebagian yang menjadi pedagang dan juga pegawai negeri, namun itu tidak seberapa.
Menurut bapa Rusli, sebelum agama Islam masuk Desa Marindi dulunya merupakan pemukiman dari suku Dayak Deah (Dayak Kinarum atau Dayak Upau). Pendapat ini juga diperkuat oleh Hermen I Ngenda tokoh masyarakat dari suku Dayak Deah. Beliau berpendapat bahwa Desa Marindi dulunya adalah tempat tinggal nenek moyang mereka yang bernama Lowu Sia[3] (Lusia sekarang) sebelum ajaran Islam tersebar. Ketika ajaran Islam berkembang di daerah ini, orang-orang Dayak Deah bergeser lebih ke timur, yaitu Desa Kinarum, Desa Sungai Rumbia, Desa Pangelak yang termasuk dalam  Kecamatan Upau sekarang. Ada pun bukti lain ialah masih banyak terdapat makam-makam adat orang-orang Dayak di Desa Marindi.[4]
Suku yang mendiami wilayah di sekitar Desa Marindi adalah Dayak Deah, suku Dayak ini sering juga disebut Dayak Dusun atau Dayak Tabalong yang merupakan salah satu suku Dayak rumpun Ot Danum atau Barito Raya. Suku Dayak Deah ini sebagian besar mendiami wilayah di Desa Gunung Riut (Balangan) dan Tabalong bagian utara yang tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Upau, Kecamatan Haruai, Bintang Ara, Kecamatan Uya dan Kecamatan Jaro, Provinsi Kalimantan Selatan.
Ketika Pangeran Abu Bakar beserta rombongan yang berasal dari Kalua datang ke Desa Marindi pada waktu itu masih bernama Lowu Sia, daerah ini masih berupa hutan belantara yang di dalamnya terdapat perkampungan-perkampungan suku Dayak Deah. Kedatangan  Pangeran Abu Bakar ke daerah ini disambut baik oleh penduduk setempat. Para keluarga Pagustian bisa hidup berdampingan suku Dayak. Pangeran Abu  Bakar termasuk orang yang pandai sehingga mudah berbaur dengan penduduk setempat, selain itu juga karena status beliau sebagai keturunan dari Bangsawan Banjar. Dengan kewibawaan beliau dan juga karena status sosial beliau, Pangeran Abu Bakar diangkat menjadi ketua adat di Desa Marindi ini.[5]
Kedatangan keluarga Pegustian ke Tabalong bagian utara ini dikarenakan mereka tidak mau patuh terhadap pemerintah Belanda yang telah menguasai pemukiman mereka. Para keluarga Pegustian ini sebagian besar adalah para pejuang berasal dari Habau, Pasar Arba Banua Lawas, Hariang, Hapalah, Sungai Hanyar, Bangkiling, Banua Rantau, Kalua, Pulau, Hampukung, Sungai Rukam, Sungai Buluh, Tantaringin, dan sekitarnya. Karena mereka ini tidak mau bekerja sama dengan Belanda, mereka dikejar-kejar sebagai buronan Belanda, mereka ini secara bertahap menyingkir ke hutan-hutan di Utara Tabalong, yaitu ke Mahe, Batu Pulut, Burum, Murung Bulan (Tabalong Kiwa), Haruai, Lampahungin, Marindi, dan sekitarnya. Sedangkan pelarian dari Amuntai bermukim di Muara Uya, dari Kandangan bermukim di Bongkang dan Lombang. Di Tabalong Utara ini pun keluarga pegustian tetap dianggap sebagai buronan oleh Belanda dan terus terjadi perlawanan oleh keluarga pegustian.[6]
Pangeran Abu Bakar sendiri berasal dari Kalua yang sejak umur kurang lebih 20 tahun hijrah ke Hulu Sungai ikut ayahnya Pangeran Singosari. Pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825-1857) Pangeran Singosari adalah perwakilan Kesultanan Banjar di Banua Lima. Pangeran Abu Bakar beserta rombongan datang ke Marindi diperkirakan sekitar tahun 1885-an termasuk di dalamnya adalah Gusti Buasan.[7] Diperkirakan umur Pangeran Abu Bakar pada waktu itu sekitar 28 tahun. Salah satu bukti yang bisa dilihat adalah dimana lokasi atau pemukiman pelarian dari Kalua dan Banua Lawas semua tetap menggunakan dialek bahasa Kalua salah satu contohnya adalah di Desa Marindi sekarang.
Perkampungan Marindi yang pada waktu itu masih berupa hutan lebat diroboh atau dibuka untuk dijadikan areal pertanian tunggal untuk menanam berbagai jenis tanaman.[8] Di Desa Marindi ini dibentuk suatu kelompok adat bagi para Pegustian dan sebagai kepala adatnya adalah Pangeran  Abu Bakar, beliau ditunjuk karena memiliki pengetahuan agama yang luas atau seorang ulama. Pangeran Abu Bakar menetap di desa ini, beliau juga menikahi seorang perempuan Dayak Deah. Selain itu Pangeran Abu Bakar juga mengawinkan Gusti Buasan dengan salah satu perempuan dari Dayak Deah. Dengan perkawinan ini nantinya akan membentuk suatu ikatan persaudaraan antara orang Dayak dan keluarga Pegustian dan bersatu untuk melawan Belanda. Selain sebagai tempat pelarian dari kejaran Belanda, daerah Tabalong Utara ini dijadikan tempat untuk berdakwah bagi keluarga Pegustian khususnya Pangeran Abu Bakar beserta murid dan sahabat beliau. Inilah awal kedatangan Pangeran Abu Bakar beserta rombongan ke Desa Marindi.




[1] Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, 2005), hlm. 150
[2] Ibid., hlm. 148
[3] Lowu Sia adalah nama perkampungan Dayak Deah yang dulunya mendiami daerah di sekitar Desa Marindi. Sekarang penulisan nama Lowu Sia diganti dengan Lusia oleh masyarakat Desa Marindi.
[4] Rusli, wawancara 9 April 2014
[5] Mahlan & H. Diris, Latar Belakang dan Perjuangan Gusti Buasan (Lampahungin: 2003), hlm. 3
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.,  hlm. 4

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Theme images by mammuth. Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget