Haji Pangeran Abu Bakar (Awal kedatangan ke desa Marindi dan asal usul nama Lusia)
Marindi adalah
sebuah desa yang terletak di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong. Desa Marindi
terletak sebelah timur Kecamatan Haruai dan berjarak 8 km dari ibukota
kecamatan, 33 km dari ibukota kabupaten, dan 250 km dari ibukota provinsi. Desa
Marindi memiliki luas wilayah 30 km² (Profil Desa Marindi), secara geografis
memiliki batas wilayah sebagai berikut :
1.
Sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Muara Uya
2. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kecamatan Upau
3. Sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Upau
4.
Sebelah Barat
berbatasan dengan Desa Wirang
Kondisi alam
wilayah Desa Marindi pada umumnya berdataran rendah dengan sedikit berbukit,
terdiri dari daerah lahan kering, sedikit lahan basah (sawah), dan tidak rawan
banjir. Pemukiman penduduk Desa Marindi terletak berbanjar di tepian sungai
Kinarum yang membentang dari Timur ke Barat. Seperti masyarakat pada umumnya,
penduduk Desa Marindi juga sangat bergantung pada keberadaan sungai Kinarum
sebagai sumber kehidupan (Profil Desa Marindi).
Dalam hal
ekonomi pada umumnya mata pencaharian penduduk Desa Marindi yaitu dari hasil
bertani. Bertani yaitu menanam padi baik di sawah ataupun diladang yang sering
disebut bahuma, selain padi ada juga
beberapa tanaman lain yang ditanam seperti pisang dan berbagai jenis buah-buahan
lainnya. Bahuma atau menanam padi di gunung merupakan sistem bercocok tanam
tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang sebagian besar penduduk
Kalimantan dan sampai sekarang masing bisa dijumpai terutama untuk wilayah
berdataran tinggi. Bahuma gunung ini
hanya dilakukan sekali dalam setahun, sesuai dengan peredaran musim, yaitu
musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau mereka membabat semak
belukar atau batabang, yang kemudian
dibakar atau disirau kemudian
ditanami bibit.[1]
Selain menanam
padi dan berbagai jenis buah-buahan, penduduk Desa Marindi juga berkebun karet.
Karet di Kabupaten Tabalong dibawa oleh Belanda pada tahun 1907, ketika itu
pemerintah Hindia Belanda telah mendorong penanaman besar-besaran di Kalimantan
Selatan yaitu di Tabalong dan afdeeling Amuntai.[2] Sampai sekarang mata pencaharian utama
penduduk Desa Marindi yaitu dari hasil berkebun karet atau manureh dan juga bahuma
padi. Walaupun ada juga sebagian yang menjadi pedagang dan juga pegawai negeri,
namun itu tidak seberapa.
Menurut bapa
Rusli, sebelum agama Islam masuk Desa Marindi dulunya merupakan pemukiman dari
suku Dayak Deah (Dayak Kinarum atau Dayak Upau). Pendapat ini juga diperkuat
oleh Hermen I Ngenda tokoh masyarakat dari suku Dayak Deah. Beliau berpendapat
bahwa Desa Marindi dulunya adalah tempat tinggal nenek moyang mereka yang
bernama Lowu Sia[3]
(Lusia sekarang) sebelum ajaran Islam tersebar. Ketika ajaran Islam berkembang
di daerah ini, orang-orang Dayak Deah bergeser lebih ke timur, yaitu Desa
Kinarum, Desa Sungai Rumbia, Desa Pangelak yang termasuk dalam Kecamatan Upau sekarang. Ada pun bukti lain
ialah masih banyak terdapat makam-makam adat orang-orang Dayak di Desa Marindi.[4]
Suku
yang mendiami wilayah di sekitar Desa Marindi adalah Dayak Deah, suku Dayak ini
sering juga disebut Dayak Dusun atau Dayak Tabalong yang merupakan salah satu
suku Dayak rumpun Ot Danum atau Barito Raya. Suku Dayak Deah ini sebagian besar
mendiami wilayah di Desa Gunung Riut (Balangan) dan Tabalong bagian utara yang
tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Upau, Kecamatan Haruai, Bintang
Ara, Kecamatan Uya dan Kecamatan Jaro, Provinsi Kalimantan Selatan.
Ketika Pangeran
Abu Bakar beserta rombongan yang berasal dari Kalua datang ke Desa Marindi pada
waktu itu masih bernama Lowu Sia,
daerah ini masih berupa hutan belantara yang di dalamnya terdapat
perkampungan-perkampungan suku Dayak Deah. Kedatangan Pangeran Abu Bakar ke daerah ini disambut
baik oleh penduduk setempat. Para keluarga Pagustian bisa hidup berdampingan
suku Dayak. Pangeran Abu Bakar termasuk
orang yang pandai sehingga mudah berbaur dengan penduduk setempat, selain itu
juga karena status beliau sebagai keturunan dari Bangsawan Banjar. Dengan
kewibawaan beliau dan juga karena status sosial beliau, Pangeran Abu Bakar
diangkat menjadi ketua adat di Desa Marindi ini.[5]
Kedatangan
keluarga Pegustian ke Tabalong bagian utara ini dikarenakan mereka tidak mau
patuh terhadap pemerintah Belanda yang telah menguasai pemukiman mereka. Para
keluarga Pegustian ini sebagian besar adalah para pejuang berasal dari Habau,
Pasar Arba Banua Lawas, Hariang, Hapalah, Sungai Hanyar, Bangkiling, Banua
Rantau, Kalua, Pulau, Hampukung, Sungai Rukam, Sungai Buluh, Tantaringin, dan
sekitarnya. Karena mereka ini tidak mau bekerja sama dengan Belanda, mereka
dikejar-kejar sebagai buronan Belanda, mereka ini secara bertahap menyingkir ke
hutan-hutan di Utara Tabalong, yaitu ke Mahe, Batu Pulut, Burum, Murung Bulan
(Tabalong Kiwa), Haruai, Lampahungin, Marindi, dan sekitarnya. Sedangkan pelarian
dari Amuntai bermukim di Muara Uya, dari Kandangan bermukim di Bongkang dan
Lombang. Di Tabalong Utara ini pun keluarga pegustian tetap dianggap sebagai
buronan oleh Belanda dan terus terjadi perlawanan oleh keluarga pegustian.[6]
Pangeran Abu
Bakar sendiri berasal dari Kalua yang sejak umur kurang lebih 20 tahun hijrah
ke Hulu Sungai ikut ayahnya Pangeran
Singosari. Pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825-1857) Pangeran Singosari
adalah perwakilan Kesultanan Banjar di Banua Lima. Pangeran Abu Bakar beserta
rombongan datang ke Marindi diperkirakan sekitar tahun 1885-an termasuk di dalamnya
adalah Gusti Buasan.[7]
Diperkirakan umur Pangeran Abu Bakar pada waktu itu sekitar 28 tahun. Salah
satu bukti yang bisa dilihat adalah dimana lokasi atau pemukiman pelarian dari
Kalua dan Banua Lawas semua tetap menggunakan dialek bahasa Kalua salah satu
contohnya adalah di Desa Marindi sekarang.
Perkampungan
Marindi yang pada waktu itu masih berupa hutan lebat diroboh atau dibuka untuk
dijadikan areal pertanian tunggal untuk menanam berbagai jenis tanaman.[8] Di
Desa Marindi ini dibentuk suatu kelompok adat bagi para Pegustian dan sebagai
kepala adatnya adalah Pangeran Abu
Bakar, beliau ditunjuk karena memiliki pengetahuan agama yang luas atau seorang
ulama. Pangeran Abu Bakar menetap di desa ini, beliau juga menikahi seorang
perempuan Dayak Deah. Selain itu Pangeran Abu Bakar juga mengawinkan Gusti
Buasan dengan salah satu perempuan dari Dayak Deah. Dengan perkawinan ini
nantinya akan membentuk suatu ikatan persaudaraan antara orang Dayak dan
keluarga Pegustian dan bersatu untuk melawan Belanda. Selain sebagai tempat
pelarian dari kejaran Belanda, daerah Tabalong Utara ini dijadikan tempat untuk
berdakwah bagi keluarga Pegustian khususnya Pangeran Abu Bakar beserta murid
dan sahabat beliau. Inilah awal kedatangan Pangeran Abu Bakar beserta rombongan
ke Desa Marindi.
BACA JUGA :
[1] Suriansyah Ideham dkk, Urang Banjar dan Kebudayaannya
(Banjarmasin: Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, 2005), hlm. 150
[2] Ibid., hlm. 148
[3] Lowu Sia adalah nama perkampungan Dayak Deah yang dulunya mendiami
daerah di sekitar Desa Marindi. Sekarang penulisan nama Lowu Sia diganti dengan Lusia
oleh masyarakat Desa Marindi.
[4] Rusli, wawancara 9 April
2014
[5] Mahlan & H. Diris, Latar Belakang dan Perjuangan Gusti Buasan
(Lampahungin: 2003), hlm. 3
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm. 4
Post a Comment