Halloween Costume ideas 2015

HARUAI-WIRANG.blogspot.com

RIWAYAT SINGKAT LATAR BELAKANG DAN PERJUANGAN GUSTI BUASAN DI DESA LAMPAHUNGIN, KECAMATAN HARUAI, KABUPATEN TABALONG

Gusti Buasan adalah salah satu pejuang pada masa perang banjar. beliau berjuang di desa lampahungin, kec. haruai, kab. tabalong



RIWAYAT SINGKAT

LATAR BELAKANG  DAN PERJUANGAN  GUSTI BUASAN

makam gusti buasan
Makam Gusti Buasan
Diriwayatkan oleh       :  Mahlan (Kepala Desa Lampahungin tahun 1991) dan Haji Diris
    (Penghulu Murung Pudak) pada Rabu, 1 Mei 1991.
Tempat                        : Lokasi Makam Gusti Buasan di Desa Lampahungin, Kecamatan Haruai.
Di tulis ulang oleh       : Gusti Irwan Rusadi (Juran, 30 Juli 2014)

I.       Latar Belakang
Adanya pengumuman Pemerintah Hindia-Belanda, yang dalam hal ini Residen F.N Nieuwenhuizen tanggal 11 Juni 1860 mengenai hak tanah kerajaan Kuin, Martapura dan Amuntai akan dihapuskan dan Pangeran Hidayat diberi ultimatum untuk menyerah kepada Kompeni Belanda. Dengan pengumuman dan ultamatum tersebut seluruh rakyat Banjar termasuk wilayah di Hulu Sungai dan Tabalong menentang Pemerintahan Hindia-Belanda dan siap mengangkat senjata untuk menentang penjajah Belanda. Perang banjar dilanjutkan yang dalam hal ini sebagai kordinator Perlawanan Rakyat dipimpin oleh Pangeran Hidayat dan Pangeran Antasari.

Sedang sebelumnya diberbagai tempat telah timbul pemberontakan rakyat terhadap Kompeni Belanda, diantaranya di Kalimantan Tengah yang meliputi wilayah Kapuas, Muara Teweh, Barito, Kota Waringin dan sekitarnya dipimpin langsung oleh Pangeran Muhammad Seman (putra Pangeran Antasari) di bantu oleh panglimanya bernama “BATUR” (Panglima Batur). Di martapura meliputi Riam Kanan, Cempaka, Karang Intan dan sekitarnya dipimpin oleh “DEMANG LEHMAN”, di Pelaihari yang meliputi wilayah Sabohor, Takisung, Batu Tongko dan sekitarnya dipimpin oleh “HAJI BUYASIN”. Di Kandangan dan sekitarnya dipimpin oleh “ANTALUDDIN”, di Amuntai dan sekitarnya dipimpin oleh “TEMANGGUNG JALIL”, sedang di Tabalong yang meliputi wilayah Banua Lawas, Kalua, Tanjung, Tanta dan sekitarnya dipimpin oleh “PENGHULU RASYID”.

Sebagai akibat dari pengumuman Residen F.N Nieuwenhuizen tanggal 11 Juni tersebut diatas, maka pihak Pangeran Antasari yang didampingi oleh Penghulu Rasyid dan Datu Bagulung memproklamirkan pernyataan perang terhadap Kompeni Belanda tanggal 17 Agustus 1860 yang ditandai dengan pengebaran bendera berlukiskan keris bersilang warna merah di Kota Tanjung. Penghulu Rasyid telah mempersiapkan sebelumnya kubu-kubu pertahanan di Tabur, Muara Sungai Hanyar, di Kalua, Sungai Buluh, Pamarangan dan Puain dan terakhir pertahanan terkuat di Tanjung (Murung Ujung).

Pertempuran telah terjadi di mana-mana dan telah berlangsung selama 7 (tujuh tahun) dari tahun 1859-1865. Akhirnya karena tidak seimbangnya kekuatan persenjataan dan juga personil Belanda yang didatangkan dari Batavia, Semarang dan Banjarmasin, perlawanan dari hari kehari semakin menurun disamping juga karena adanya faktor penghianatan yang semakin menjadi-jadi karena pengaruh tahta dan harta. Selain itu faktor pimpinan perjuangan satu demi satu gugur dan berpulang ke rahmatullah setelah berjuang dalam jihatnya. Adapun para pemimpin yang gugur dan juga berhasil ditangkap sebagai berikut:
1.      Pangeran Hidayatullah tertawan dan berpulang ke rahmatullah dalam masa tahanan di Cianjur tahn 1904.
2.      Pangeran Antasari berpulang ke rahmatullah tahun 1862.
3.      Temanggung Jalil berpulang ke rahmatullah tahun 1861.
4.      Demang Lehman berpulang ke rahmatullah tahun 1864.
5.      Antaluddin berpulang ke rahmatullah tahun.......
6.      Haji Buyasin berpulang ke rahmatullah tahun 1866.
7.      Penghulu Rasyid berpulang ke rahmatullah tahun 1865.
8.      Panglima Batur berpulang ke rahmatullah tahun 1905.
9.      Pangeran Muhammad Seman berpulang ke rahmatullah tahun 1905.

Pada dasarnya setelah pemimpin perlawanan rakyat tersebut berpulang ke rahmatullah, maka pemberontakan dimana-mana diseluruh wilayah Kalimantan Selatan dapat dikuasai Belanda, termasuk di wilayah Tabalong. Namun api antipati terhadap Pemerintah Belanda tetap berkobar dihati rakyat yang sewaktu-waktu akan menyala kembali.

II.    Pelarian
Sebagian besar bekas perajurit Panghulu Rasyid yang berasal dari Habau, Pasar Arba Banua Lawas, Hariang, Hapalah, Sungai Hanyar, Bangkiling, Banua Rantau, Kalua, Pulau, Hampukung, Sungai Rukam, Sungai Buluh, Tantaringin dan sekitarnya yang tidak dapat bekerjasama dengan Pemerintah Belanda. Dalam hal ini mereka tetap dikejar-kejar sebagai boronan Belanda, mereka secara bertahap menyingkir ke hutan-hutan di wilayah Utara Tabalong, yaitu ke Mahe, Batu Pulut, Burum, Murung Bulan (Tabalong Kiwa), Haruai, Lampahungin, Marindi dan sekitarnya, sedangkan pelarian asal Amuntai bermukim di Muara Uya, sedang pelarian asal Kandangan bermukim di Bongkang dan Lombang. Sebagai bukti dapat kita perhatiakan, diamana lokasi pemukiman pelarian asal Banua Lawas dan Kalua semuanya tetap menggunakan dialek Bahasa Kalua dan Banua Lawas (satu dialek).

III.   Riwayat Perjuangan Gusti Buasan dan Gusti Barakit
Gusti Buasan dilahirkan sekitar tahun 1849 sedang adiknya bernama Gusti Berakit dilahirkan sekitar tahun 1851 di Desa Pulau Kecamatan Kalua. Orang tuanya bersama seluruh keluarganya (kalangan Gusti-Gusti) di Kalua adalah perajurit Pangeran Antasari dan Perajurit  Penghulu Rasyid. Setelah pertempuran di Tanjung tanggal 17, 18 dan 19 Agustus 1860 dan kota Tanjung dan sekitarnya dapat dikuasai oleh serdadu Belanda, keluarga tersebut bersama-sama hijrah ke Marindi (mengenai tahun kepindahan ini beberapa orang memiliki pendapat yang berbeda-beda) Kecamatan Haruai dan tetap sebagai boronan Belanda.

Kedua pemuda berdarah bangsawan hidup bersama orang tuannya dan pelarian lainnya di hutan Marindi dan mereka dapat hidup berdampingan dengan suku Dayak Kinarum dan suku Dayak Upau. Di kampung pelarian tersebut (Marindi) dibentuk suatu kelompok sebagai kepala adat adalah seorang ulama bernama “GUSTI ABU BAKAR” juga berasal dari Desa Pulau Kalua, beliau sangat simpatik kepada kedua pemuda bernama Gusti Buasan dan Gusti Barakit, seakan-akan menaruh harapan bagi masa depan keluarga mereka. Pelarian tersebut terjadi setelah Penghulu Rasyid meninggal dunia dalam pertempuran dahsyat yang terjadi di Banua Lawas dan sekitarnya dalam tahun 1865. Pemuda Gusti Buasan dan Gusti Berakit ikut terlibat dalam pertempuran tersebut sebagai perajurit Angkatan Muda.

Perkampungan pelarian di Marindi yang pada waktu itu masih sebahagian besarnya terdiri dari hutan lebat yang kemudian diroboh atau dibuka untuk dijadikan areal pertanian huma tunggal.sekitar tahun 1866 Gusti Buasan atas usul Gusti Abu Bakar (seorang ulama yang diangkat dan ditunjuk menjadi ketua kelompok) dikawinkan dengan seorang puteri salah seorang pejuang yang ikut bermukim di Marindi (tidak diketahui namanya). Riwayat lain mengatakan, Gusti Buasan dikawinkan dengan puteri Kepala Adat Suku Dayak Kinarum setelah memeluk ajaran agama Islam.

Sejak setelah perkawinan dengan puteri tersebut, Gusti Buasan dibantu oleh istri dan adiknya Gusti Barakit mulai menyusun Pasukan Gerilya terdiri dari angkatan muda untuk melakukan perlawanan terhadap serdadu Belanda. Gerakan pasukan gerilya tersebut telah menyebar denagan cepatnya ke Mahe, Haruai, Batu Pulut, Lampahungin, Bongkang Muara Uya, Lombang dan Tabalong Kiwa sebagai pasukan inti dilatih di Maindi.

Dipihak Kompani Belanda melaksanakan kerja paksa 10 hari setiap bulan untuk membuat jalan tembus Tanjung-Haruai terhadap rakyat pribumi. Jalan tembus tersebut dibuat sebagai sarana perhubungan darat untuk melakukan patroli melalui Sungai Tabalong (Amuntai-Haruai) juga tetap dilakukan. Namun dipihak pasukan gerilya sebagai perajurit Gusti Buasan setiap saat siap melakukan pencegatan-pencegatan, baik terhadap patroli Belanda melalui darat maupun melalui sungai. Tidak jarang pasukan Belanda disergap dan semua pasukan Belanda mati karena kepalanya ditenggelamkan dengan menumbangkan pohon kayu yang cukup besar sehingga pasukannya mati tenggelam dalam air.

Pihak Belanda menyebut pasukan gerilya Gusti Buasan ialah “PASUKAN BERANDAL” artinya pasukan yang tidak mau tunduk terhadap Kompeni Belanda. Sekitar tahun 1904, pihak Pemerintah Belanda membuat suatu pengumuman yang isinya sebagai berikut: “Barang siapa yang dapat menangkap hidup atau mati terhadap gusti buasan akan diberikan hadiah yang besar”.
Sebagai hambatan yang dihadapi Gusti Buasan bersama pasukan gerilyanya selama ini antara lain:
·         Terbatasnya persenjataan yang dimiliki
·         Terbatasnya personil yang cukup terlatih
·         Merajalelanya penghianatan yang terpengaruh harta dan tahta.

Sebagai suatu kebiasaan dalam kepemimpinan Gusti Buasan terhadap perajuritnya dan masyarakat sekitar tempat tinggal perajuritnya, apabila diantaranya ada yang sakit atau meninggal dunia, dalam hal ini Gusti Buasan mengunjunginya secara pribadi tanpa dikawal pasukan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh penghianat sebagai musang berbulu ayam. Pada suatu ketika diawal tahun 1904 salah seorang anggota perajuritnya yang bermukim di Lampahungin sedang mengalami sakit yang cukup parah, Gusti Buasan diberitahu mengenai perajuritnya yang sakit tersebut, hal itu dicium secara tajam oleh penghianat yang bertempat tinggal di Lampahungin yang sampai pada saat itu belum diketahui oleh masyarakat. Secara rahasia penghianat tersebut melaporkan kepada Kompeni Belanda, sehingga dipersiapkan 1 regu pasukan inti yang bergerak diwaktu malam mengintip Gusti Buasan disekitar rumah perajurit yang sedang sakit tersebut.

Pada malam pertama sekitar jam 02.00 datanglah Gusti Buasan yang didampingi oleh Istri dan adiknya Gusti Barakit menuju tempat tinggal perajurit tersebut, sebelum menaiki tangga tiba-tiba tembakan yang beruntun dan persis mengenai sasarannya, yaitu Gusti Buasan terkena peluru pada paha kanannya, namun beliau cepat berguling dan masuk kedalam semak sekitar tempat kejadian itu, sedang Gusti Barakit bersama istri Gusti Buasan juga berguling dan mencari tempat yang aman. Pihak Kompeni kempeni tetap mencarinya sampai pada siang harinya, tetapi tidak ada tanda-tanda yang bisa dibuntuti. Sekitar jam 07.00 pasukan kompeni kembali menuju Tanjung, namun pasukan gerilyawan menghadangnya di Batu Pulut dan terjadi pertempuran yang cukup dahsyat. Kabarnya beberapa anggota pasukan kompeni Belanda ada yang gugur, disamping pasukan gerilyawan juga banyak yang gugur sebagai syuhada.

Selanjutnya oleh masyarakat di Lampahungin sejak mundurnya pasukan Kompeni Belanda dilakukan pencarian secara serentak di tempat persembunyian Gusti Buasan yang akhirnya ditemukan dalam sebuah semak yang tidak jauh dari kejadian pertama. Beliau diangkat ketempat yang aman serta diobati secara tradisional. Dalam keadaan sakitnya yang cukup parah dan tidak mungkin lagi untuk disembuhkan, beliau beramanat:
1.      Perang perlawanan terhadap Kompeni Belanda agar tetap diteruskan sampai dengan titik darah yang penghabisan.
2.      Pimpinan Perang Gerilya diserahkan sepenuhnya kepada adiknya Gusti Barakit apabila yang bersangkutan masih hidup dan agar sesegeranya berangkat ke Teweh untuk meminta bantuan personil kepada Putri Zalekha bersama Panglima Batur untuk menyerang Tanjung.
3.      Untuk sementara apabila istrinya masih hidup agar diungsikan ketempat yang aman, yaitu di Marindi.
Sehabis beliau menyampaikan amanat tersebut, beliau menhembuskan nafas yang penghabisan dalam keadaan tenang, selanjutnya dimakamkan ditempat persembunyiannya, yaitu di pemakaman yang ada sekarang ini di Desa Lampahungin.

Dilain pihak mengenai nasib Gusti Barakit bersama istri Gusti Buasan terus menghindar ke arah hulu dan bersembunyi di tepi Sungai Mantikus selama beberapa hari. Sedangkan di pihak masyarakat tetap mencarinya dan akhirnya ditemukan ditempat tersebut dalam keadaan sehat wa’afiat yang selanjutnya sempat menghadiri upacara pemakaman almarhum Gusti Buasan. Setelah pemakaman disampaikanlah 3 (tiga) amanat penting dari Gusti Buasan sebagai pertimbangan untuk langkah-langkah kebijaksanaan selanjutnya.

Perjuangan Gusti Buasan di sektor Tabalong tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi kontak perjuangannya selalu berkaitan dengan perjuangan masyarakat Kalimantan Tengah yang meliputi Barito, Teweh, Kapuas dan sekitarnya. Demikian juga dengan perjuangan masyarakat di Kalimantan Timur yang meliputi Tanah Gerogot, Pasir, Kutai dan sekitarnya. Bantuan persenjataan serta personil antar tiga daerah ini tetap berjalan dengan lancar dan kompak.

Satu hari setelah pemakaman, istri almarhum Gusti Buasan diungsikan ke Marindi, sedangkan Gusti Barakit ditemani oleh 2 orang anggota perajurit yang tahan uji berangkat ke Teweh melalui Kalua, Ampah dan seterusnya dengan amanat penting terhadap pemimpin sementara perajurit di sektor Tabalong antara lain:
1.      Semua perajurit yang tinggal di kampung agar dipindahkan ke lokasi tempat latihan di hutan-hutan.
2.      Untuk sementara pencegatan terhadap patroli Belanda ditangguhkan sampai ada perintah selanjutnya.
3.      Kewaspadaan agar lebih ditingkatkan, terutama terhadap pengkhianat yang sukar dapat dipastikan.

Puteri Zalekha atau sering juga disebut Ratu Zalekha adalah anak dari Sutan Muhammad Seman dan cucu dari Pangeran Antasari asal Sungai Batang Martapura. Seuami beliau bernama Gusti Muhammad Arsyad. Puteri Zalekha berjuang mendampingi suaminya dan ayahnya sejak berusia 20 tahun. Suaminya tertawan oleh Belanda pada tanggal 1 Agustus 1904 M.

Kedatangan Gusti Barakit disambut hangat oleh beliau dan sekaligus membantu perjuangan rakyat Tabalong. Panglima Batur tidak diizinkannya karena harus memimpin perjuangan rakyat Kalimantan Tengah terhadap Kompeni Belanda.

Puteri Zalekha bersama Gusti Barakit didamping dua orang pembantu Putri Zalekha berangkat menuju Tabalong lewat Ampah dan Tamiyang Layang. Sesampainya di Kalua, mereka berpisah untuk sementara, yaitu Gusti Barakit langsung ke Mahe dan Lampahungin untuk memberikan komando persiapan perang. Sedang Puteri Zalekha bersama dua orang pembantunya beristirahat di Desa Tantaringin (sekarang Desa Asampauh) di tempat salah seorang keluarga asal Teluk Silang Martapura (kakek dari St. Habibah).

Sesuai dengan waktu dan jadwal yang sudah ditetapkan bersama antara Ratu Zalekha dengan Gusti Barakit, semua pasukan inti dipusatkan di Mahe, sedang pasukan cadangan ditempatkan di Tabalong Kiwa dan Haruai secara serentak. Sedangkan Ratu Zalekha berangkat menuju Mahe ditemani oleh Datu Ambia asal teluk Manduin Kecamatan Muara Harus ditambah dua orang pembantunya melalui jalur Mangkusip, Murung Pudak dan Tabing Siring. Dari Tabing Siring diangkut perahu menuju mahe. Karena disiplin waktu, sehingga seluruh pasukan sudah terkumpul disektor Mahe, sektor Tabalong Kiwa dan Sektor Haruai.

Dari pihak Kompeni Belanda, sejak gugurnya Gusti Buasan dan menghilangnya Gusti Barakit dan istri Gusti Buasan yang menurut perkiraan mereka keduanya telah gugur bersama Gusti Buasan, disamping perlawanan rakyat selama ini tidak pernah lagi dilakukan oleh pasukan Berandal, hal ini dianggap oleh Kompeni Belanda keadaan sudah aman, perlawanan rakyat 100% telah terpatahkan. Oleh karena itu pihak Kompeni Belanda segera akan menempatkan kompi pertahanan di Mahe dan Haruai (Sektor Utara) yang selama ini mereka belum ada keberanian. Hal ini diketahui oleh Gusti Barakit disebabkan adanya kebocoran dari pihak sepion (mata-mata) yang tertangkap oleh seorang gerilyawan yang menyamar sebagai sepion Belanda.Rencana penyerangan Tanjung untuk sementara ditangguhkan, disebabkan rencana Kompeni Belanda akan menempatkan kompi keamanannya disektor Utara yang telah dianggap aman, yaitu Mahe dan Haruai. Sejak keputusan itu diambil, semua penjuru disektor Mahe dijaga dengan ketat, kemungkinan pihak sepion (mata-mata) Belanda melaporkan ke Tanjung.

Pada malam berikutnya bergerak pasukan Kompeni Belanda menuju Mahe, sekitar jam 03.00 pasukan tersebut tekah tiba di Mahe. Atas komando Ratu Zalekha, dengan sistem gerilya pasukan Kompeni Belanda diserang dengan tiba-tiba, sehingga terjadi pertempuran yang dahsyat. Tiga hari kemudian pasukan cadangan  di Haruai dan Tabalong Kiwa diperintahkan turun ke Mahe, karena pasukan Belanda mendapat bantuan dari Kandangan dan Amuntai.

Puteri Zalekha sebagai perajurit yang cukup sakti dan tidak terkena sasaran peluru cukup gigih memberikan komando perlawanan dan tetap berada pada bagian terdepan. Jumlah korban kedua belah pihak cukup banyak. Namun sebagai akibat tidak seimbangnyanya kekuatan personil dan logistik, akhirnya seluruh kekuatan gerilyawan Mahe dapat dikuasai oleh Kompeni Belanda. Anggota gerilyawan yang masih selamat mereka kembali mengamankan diri di hutan-hutan yang dianggap aman, sedang Puteri Zalekha bersama dua orang pembantunya kembali menuju Tewe. Berhubung fisik beliau dalam keadaan sakit-sakitan, akhirnya menyerah kepada Kompeni Belanda di tewe. Oleh Kompeni Belanda beliau diasingkan bersama suaminya di Bogor. Alhamdulillah suami-istri tersebut berusia panjang, sehingga dalam tahun 1937 beliau dibebaskan dan sempat menikmati Indonesia merdeka. Pada tanggal 24 September 1953 Puteri Zalekha berpulang ke rahmatullah dan di makamkan di Martapura.
Label:

Post a Comment

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Theme images by mammuth. Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget