Makam Pangeran Abu Bakar |
Kabupaten Tabalong adalah kabupaten yang mayoritas penduduknya dihuni oleh suku Banjar dan Dayak. Kabupaten Tabalong juga merupakan kabupaten dengan populasi suku Dayak yang cukup banyak dengan berbagai macam sub-suku, dan yang paling banyak ada Dayak Deah. Jika kita lihat jauh ke belakang dan melihat berbagai macam teori yang menyatakan bahwa orang-orang Dayak lah yang merupakaan penduduk asli Pulau Kalimantan. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya pendatang yang datang ke Pulau Kalimantan seperti orang-orang Malayu, Jawa, Bugis, dan lainnya sehingga terjadi akulturasi dan asimilasi budaya yang akhirnya menciptakan adentitas baru yaitu Suku Banjar (khusus Kalimantan Selatan). Sampai saat ini suku Banjar menjadi suku mayoritas di kalimantan Selatan disusul dengan Suku Dayak.
Berikut beberapa Suku
Dayak yang ada di Kabupaten Tabalong:
1.
Dayak Deah
2.
Dayak Maanyan
3.
Dayak Lawangan
Dari beberapa suku
dayak tersebut Dayak Deah yang mempunyai populasi terbanyak. Oleh karena itu
banyak tempat-tempat yang asal-usulnya dinamai oleh atau berdasarkan budaya
Dayak.
Desa
Marindi.
Desa Marindi adalah
salah satu desa yang ada di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong. Masyarakat
Desa Marindi Mayoritas adalah Suku Banjar Pahuluan dan beragama Islam. Mata
pencaharian masyarakat mayoritas adalah berasal dari hasil bertani/ladang dan
berkebun karet. Desa Marindi juga mempunyai potensi objek wisata alam yang
sangat indah, yaitu Riam Mambanin. Riam Mambanin adalah objek wisata alam yang
menawarkan keindahan pemandangan alam, air terjuan, dan jeram-jeram kecil yang
ada di sungainya.
Karakteristik Desa
Marindi sama dengan desa-desa lainnya, yaitu pemukiman penduduknya berjejer
mengikuti jalan atau sungai (tidak berkumun). Sebelum kedatangan orang-orang
dari Pahiliran (Kalua) Desa Marindi
merupakan pemukiman atau tempat tinggal dari Suku Dayak Deah. Desa Marindi
merupakan desa tua yang sarat akan sejarah, hal ini terbukti dengan adanya
beberapa peninggalan sejarah seperti Masjid Al-Hidayah dan Makam seorang Ulama
penyebar agama Islam di Desa tersebut, yaitu makam Pangeran Abu Bakar.
Asal-usul
nama Marindi dan Lusia
Sebelum kedatangan
rombongan Pagustian dari Kalua, daearah yang dinamakan Desa Marindi ini dihuli
oleh masyarakat Dayak Deah yang di pimpin oleh kepala suku yang bernama Rende. Rombongan Pagustian yang datang
ke Marindi ini dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar (dalam rentang waktu 1885-1890),
kedatangan mereka ke daerah ini diakibatkan daerah Kalua berhasil dikuasai oleh
Belanda (pada waktu itu sedang berlangsung Perang Banjar). Mereka disambut
hangat oleh penduduk setempat dan dibiarkan tinggal.
Kedatangan orang-orang
Pahiliran ini membawa perubahan pada penduduk setempat, terutama pada bidang
mata pencaharian dan kepercayaan. Masyarakat yang sebelumnya hidup bergantung
dari hasil hutan dan ladang berpindah diperkenalkan cara baru, yaitu dengan
membuka lahan untuk persawahan sehingga tidak perlu lagi berpindah-pindah untuk
menanam padi (budaya ladang berpindah masih tetap dilakukan masyarakat hingga
saat ini). Dari aspek kepercayaan, masyarakat yang dulunya menganut kepercayaan
leluhur yaitu Kaharingan sebagian besar memeluk agama Islam dan sebagian lain
tetap dengan kepercayaan nenek moyang mereka. Namun, perbedaan keyakinan ini
tidak membuat masyarakat terpecah, mereka tetap hidup rukun berdampingan.
Di Kabupaten Tabalong
banyak kita jumpai nama-nama desa atau tempat yang di awali dengan kata “Ma”,
seperti Marindi, Mantikus, Mangkupum, Masukau, Marimjim, Mabuun, Mahe, Maburai,
dan banyak lainnya. Dari hasil wawancara saya dengan beberapa tokoh Dayak
Deah,mereka mengatakan bahwa daerah-daerah yang berawalan dengan kata “Ma”
dulunya merupakan pemukiman-pemukiman nenek moyang mereka. Akibat derasnya arus
pendatang dan Islamisasi mengakibatkan orang Dayak sekarang hidup dalam
kelompok-kelompok kecil. Dayak Deah sebagian besar menempati daerah Kecamatan
Upau, Desa Mangkupum, Nawin, dan Seradang. Dayak Lawangan mendiami daerah
Binjai, Salikung di Muara Uya dan Dayak Maanyan mendiami daerah Warukin dan Daerah
Barito Timur, sedangkan Dayak Iban dinyatakan sudah hampir tidak ada lagi.
Seperti yang saya
jelaskan di atas bahwa daerah Marindi sebelum kedatangan para pendatang daerah
tersebut di pimpin oleh kepala suku yang bernama Rende. Dalam bahasa Dayak Deah
kata “ma” artinya “pak” atau “Bapak”,
jadi Ma Rende artinya Bapak Rende atau suatu daerah yang
dipimpin oleh Bapak rende. Seiring berjalannya waktu penyebutan Ma Rende
berubah menjadi penyebutan tempat yaitu Marindi.
Sedangkan Lowu
sia atau Lusia sekarang ini
mempunyai arti rumah yang terbakar (dalam bahasa Dayak Deah). Menurut beberapa
tokoh masyarakat disebut Lowu Sia atau rumah yang terbakar
dikarenakan pada zaman dulu pernah terjadi sebuah kebakaran hebat di daerah
tersebut (hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat Dayak Deah).
*Sumber: hasil
wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat Desa Marindi dan tokoh adat Dayak
Deah.
BACA JUGA:
BACA JUGA:
Post a Comment